Gambar diambil dari sini |
Jum’at malam
kemarin, saat berhenti di lampu merah di depan hotel Sahid, aku melihat seorang
kakek sedang menjajakan koran. Kutaksir usianya tidak kurang dari 70 tahun,
rambutnya sudah memutih semua, tubuhnya kurus ringkih dan berjalan dengan
tertatih. Padahal saat itu sudah lebih dari pukul sembilan malam. Hatiku serasa
perih melihat itu. Sebuah ironi dan gambaran jelas sebuah ketimpangan sosial
dan mungkin juga matinya toleransi di kota besar seperti Surabaya ini. Kita semua
pasti tahu daerah di sekitar sana. Sebuah persimpangan jalan besar yang di
kelilingi dan berdekatan dengan tempat tempat dimana kemewahan di manjakan. Hotel
Sahid, stasiun Gubeng, Grand City Mall, Surabaya Plasa (delta), WTC, Monkasel
dan sederet perkantoran kelas atas berjarak tidak lebih dari lima ratus meter
dari sana. Tapi mengapa masih ada seorang tua yang berjalan dengan tumpukan
koran di jalanan di malam yang sudah hampir larut juga di tempat seperti itu? Mengapa
juga anak anak jalanan masih saja setiap hari kita lihat ada di sana? Padahal, gedung
pemerintahan tidak sampai satu kilometer jaraknya. Mobil mobil mewah juga bukan
hanya satu dua yang lewat disana. Tapi ratusan setiap harinya. Dimana nurani? Aku
ingin bertanya. Dimana kebijaksanaan pemerintah? Aku ingin menangih. Tapi pada
siapa? Jujur, aku tak tahu.
UUD
pasal 34 ayat (1) maka akan berbunyi “Fakir miskin dan anak terlantar
dipelihara oleh NEGARA.” Apakah ini berarti bahwa
kemiskinan dan kefakiran itu sendiri yang dipelihara oleh negara agar tetap
ada? Bukan malah untuk di entaskan? Maka mungkin benar apa yang dituliskan Soe
Hok Gie dalam catatan hariannya. “Ya, dua kilometer dari pemakan kulit “paduka”
kita mungkin lagi tertawa-tawa, makan makan dengan istri-istrinya yang cantik.” (Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran
kamis, 10 Desember 1969, halaman 69). Sebuah ironi, walkers, kalau boleh aku
bilang. Dan bagaimanapun aku sadar, aku adalah bagian dari ironi itu. Aku melihat,
aku merasakan adanya ketidakberesan, tapi aku tidak (bisa) berbuat apa apa. Bukankah
membiarkan kesalahan itu berarti mendukung kesalahan itu sendiri? Kalau aku
ingin mengutuk orang orang di sekelilingku, maka pasti kutukan itu berlaku pula
buatku.
Melihat kondisi
seperti itu, disisi lain aku jadi bertanya tanya. Mungkinkah aku akan seperti
dia suatu saat nanti (aku berdoa dengan sangat untuk tidak pernah menjadi
seperti itu, tapi tetap, sepenuhnya aku sadar, segala kemungkinan itu ada,
bahkan yang terburuk sekalipun). Apakah di masa tuaku aku akan bernasib sama
seperti kakek tua itu? Hidup (mungkin) sebatang kara, tanpa seorangpun yang mau
perduli akan nasibnya. Di usia senja yang seharusnya seorang sudah duduk manis
menikmati hasil jerih payahnya di masa muda, masih saja harus berjuang untuk
bisa makan malam itu. Aku selalu berdoa kepada Tuhan untuk menolak garis takdir
semacam itu. Tapi ketika Tuhan berkehendak untuk menguji hambanya, siapa tahu? Setidaknya
sekarang aku ingin menolong, walau dengan sekeping limaratus rupiah yang ada di
saku celanaku. Agar mungkin nanti saat aku butuh, Tuhan akan mengembalikan
limaratus rupiahku itu dalam bentuk yang lain.
Walkers,
Belum lagi jauh
dari sana, di perempatan sebelum THR, lagi lagi aku berjumpa dengan pedagang
koran yang menjajakan sisa koran tadi pagi. Tapi kali ini adalah seorang anak
perempuan yang belum juga genap enam tahun usianya. Dia mendekat kearahku,
mulanya aku kira dia akan menawarkan koran yang dia bawa, tapi yang kemudian
keluar dari mulutnya adalah “pak…, saya belum makan dari pagi pak, minta pak…”
Ironis!
***
Minggu siang
adalah cerita lain yang ingin aku bagikan dengan kalian, walkers. Minggu siang
aku bertemu dengan orang orang hebat dalam sebuah acara kopdar yang diadakan di
Kebun Bibit Bratang. Mereka adalah anggota grup penulis “Bonektim” (BONdo cEndol
EKsklusif jawa TIMur). Di sana hadir bunda Titie Surya (penulis, pemilik
penerbitan Prima Pustaka Publishing, ketua Bonektim dan koordinator acara),
mbak Wahyu (penulis), Jacob Julian (penulis novel Pocong Galau dan Hitech,
penulis cerpen di beberapa majalan dan buku antologi) Axia Paramitha
(monologer), Citra (penulis puisi dan cerpen), Zahara Putri (penulis enam belas
antologi cerpen) ibu Evi Suryati (penulis, penggemar buku, dan pegawai
perpustakaan daerah Surabaya), pak Kartono (pengurus TBM Kawan Kami) dan
sejumlah nama lainnya yang sudah memililiki karya. Di sana mereka sedang
membicarakan peluncuran buku mereka yang selanjutnya. Sebuah buku yang
bernuansa cinta dan berseting di Surabaya.
Berada di
tengah tengah mereka, aku bagaikan burung gagak di tengah kerumunan burung
merak. Bukan apa apa, bukan siapa siapa, tiada indah. Kalau di tanya apa alasan
aku berada di tengah tengah mereka saat itu, jawabannya adalah karena aku yakin
kata pepatah “seorang yang berkumpul dengan penjual minyak, pasti akan
kecipratan harumnya juga” adalah benar. Seorang yang baik, yang benar dan yang
indah, pasti suatu saat akan menyebarkan keindahan itu pada lingkungan
sekitarnya. Mereka adalah insprasiku untuk terus berkaya dan terus belajar. Semoga
suatu saat, aku akan bisa menjadi merak seperti mereka, merak merak yang indah
dan berbagi keindahan.
wah sungguh ironis ya kang, mungkin itulah bentuk nyata dari pepatah "Seekor Ayam mati didalam lumbung padi" dari luarnya negeri ini seperti sebuah negeri yang gemah ripah loh jinawi, tapi kenyataannya gemah ripah loh jinawi hanya untuk sebagian orang saja, selebihnya...seperti yg digambarkan di postingan ini...
BalasHapuswah hebat bisa kopdar dgn orang2 hebat, kalau kang Ridwan menggambarkan dirinya bagaikan burung gagak di tengah kerumunan burung merak, mungkin saya bagaikan burung emprit di tengah kerumunan burung merak.... hihihi
- bener kang, mari membangun mulai dari diri sendiri dan keluarga, mungkin itu hal terbaik yang bisa kita lakukan...
Hapus- apaan tuh burung emprit? wegegegegeegegegeg .....
Weleeeeh aku PROTEEEESS! BONEKTIM (BOndo cEndol EKsklusif JawaTIMur) bukan bondo nekad Jawa Timur. Penulisan nama juga banyak yang salah. Evie Suryani bukan Evie Suyanti. Pocong Galau bukan Posong Galau.
BalasHapusMasih banyak kata yang seharusnya pake tanda srip karena kata ulang, tapi tidak diberi tanda strip.
Saranku, sebelum diupload, dikoreksi lagi biar tidak terjadi kesalahan. Jangan buru-buru diposting.
Lalu, merunut teori bakpao (cieeee ini istilah apa lagi) tulisan di atas tidak fokus. Ibarat bakpao, yang mau dibicarakan apa? Kalau cara membuat bakpao, ya kasih resep dan step by stepnya. Jangan meluas nulis tentang harga terigu di pasar, cara menanam kacang hijau buat isinya, apalagi membicarakan pedagang terigunya dari mana.
Nah, kalau mau nulis tentang si bapak tua, fokuskan ke sana. Lalu tulis lagi tentang kopdar di tulisan lainnya. Gitu ya, cuma sekedar saran. No offense please :)
~Titie Surya~
semua kesalahan penulisan sudah di perbaiki, bund. mohon maaf atas kesalahan tulis yang terjadi... :)
HapusOke-oke :)
HapusLebih fokus lagi nulisnya ya. Tulisan di atas bisa jadi 3 tulisan keren lainnya loooh. :)
makash atas masukan dan sarannya bund....
Hapusiya bener kalau dipisah saya selaku pembaca juga bisa fokus :), nice share mas, smoga terus bersinar dngan karya2 mu
BalasHapusSemoga hari ini... tak ada lagi kecemasan mgn hari tua yang akan seperti tulisan ini.
BalasHapusSungguh... mas Rd adalah salah satu orang yg ingin saya kenal lbh dalam. Rasanya senang kalau bisa jadi saudara. :)