Selasa, 10 Juli 2012

RJK 2012 07 10, Selasa : Dari Kecelakaan Itulah Kisah Ini Berawal

Tafakur


 Handphone Saprud yang duduk di sebelahku berdering. Sejenak kemudian, dia tampak berbicara dengan orang di seberang sana. Entah siapa. Yang bisa aku lihat hanya perubahan ekspresi wajah Saprud. Perlahan-lahan, ekpresi wajahnya yang tadi ceria sekarang berubah menjadi lesu.

“Siapa?” Tanyaku penasaran.

“Pak Yus.”

“Ada apa?”

“Sebentar lagi Pak Yus telepon bapak.”

Selang beberapa detik kemudian, handphone kerjaku berdering. Yus ht memanggil.

“Halo …. “

“Halo … halo …” suara pak Yus di seberang sana tampak gelisah sekali. Membuat aku bertanya-tanya. Apa yang sebenarnya terjadi? Pak Yus adalah tipe orang yang periang. Jarang sekali dia terlihat murung dan gelisah kalau tidak ada masalah besar yang sedang dihadapinya.

“Ada apa pak Yus?”

“Saya kecelakaan, pak.”

***

Aku bekerja di perusahaan towing sudah empat bulan terakhir ini. Towing adalah mobil pengangkut mobil untuk berbagai keperluan. Misalnya untuk memindahkan mobil dari satu bengkel ke bengkel yang lain, dari satu kota ke kota yang lain bahkan sampai mobil yang sedang mogok dimanapun. Towing ini adalah sistem pemindahan mobil baru yang akan menggantikan fungsi dari mobil penderek mobil.

Selama empat bulan aku bekerja di perusahaan ini, semua aktifitas berjalan lancar. Pengiriman mobil dalam dan luar kota berjalan lancar. Sampai akhirnya, di hari Senin, tanggal 2 Juli 2012 kemarin, sebuah kabar mengejutkan menyentak zona nyamanku itu. Satu unit towing kami yang sedang membawa muatan Nissan Fair Lady dari arah Malang menuju Jakarta mengalami kecelakaan. Ini adalah kecelakaan pertama dalam tujuh tahun beroprasinya perusahaan kami yang menimbulkan kerusakan material ‘cukup’ parah.

Aku sempat panik mendengar kabar ini. Sebagai operator towing daerah Surabaya dan sekitarnya, aku tahu ini kemudian akan menjadi tanggungjawabku untuk menyelesaikannya sampai tuntas. Apa lagi, kecelakaan itu terjadi masih di wilayah Jawa Timur. Aku tidak tahu bagaimana tepatnya kronologi kecelakaan itu terjadi. Yang jelas, mobil towing kamilah yang menabrak mobil di depannya. Sebuah keadaan yang tidak menguntungkan pihak kami.

Aku melupakan makan malamku hanya untuk secepatnya tiba di tempat kejadian. Tapi kemacetan panjang yang terjadi di jalan Dupak dan pintu keluar tol Kebomas di Gresik, membuat perjalanan kami ke tempat kejadian mejadi begitu lama. Ditambah lagi kami tersesat saat akan menuju ke polsek tempat mobil towing kami ditahan. Maka jadilah, perjalanan yang harusnya kami tempuh setidaknya dalam waktu dua jam, menjadi lebih dari empat jam lamanya. Pukul 10 malam lebih beberapa menit akhirnya untuk pertama kalinya aku bisa melihat keadaan mobil yang kecelakaan itu.

Nissan Fair Lady
Fair Lady yang kami angkut dalam keadaan baik baik saja. Ini poin pertama yang membuat aku setidaknya bisa bernafas lega. Bisa di bayangkan kalau sesuatu terjadi pada mobil rekanan kami itu. Nissan Fair Lady berharga sampai diatas 1 milyar rupiah. Siapa yang hendak bertanggungjawab apa bila satu goresan saja melintang di badan mobil ini? Apa lagi ini adalah mobil modifikasi milik salah satu perusahaan rokok yang akan ikut kontes mobil di Jakarta pada tanggal enam Juli.

Poin kedua yang sedikit melegakanku adalah mobil towing kami yang tidak mengalami kerusakan yang berarti. Mobil towing kami hanya mengalami pesok di bagian depan. Itupun tidak parah, hanya terlihat sedikit bergelombang saja. Aku pikir, tidak akan membutuhkan waktu lama untuk memperbaiki kerusakannya.

Hal ketiga yang masih membuatku sedikit senang adalah tidak ada korban jiwa dari pihak manapun. Bahkan patah tulang dan luka gores yang kecilpun tidak ada. Semua awak kedua mobil dalam keadaan sehat.

Kehadiran si masalah besar aku sadari saat aku melihat mobil yang ditabrak oleh towing kami. Honda CRV merah marun itu pesok cukup parah pintu belakannya. Kap mesin dan beberapa bagian mesin depan serta kaca rusak serius. Bererapa kaca juga pecah. Dalam pikiranku saat itu, ada satu pertanya besar : kapan ini akan selesai? Sepertinya tidak akan mudah jalan yang harus di tempuh untuk mencari titik temu antara dua pihak.

***

Saat itu malam sudah sangat  larut, sebentar lagi sudah akan berganti hari. Aku duduk tepekur di warung tak jauh dari polsek tempat mobil-mobil bermasalah itu di tahan. Di depanku, nasi goreng yang aku pesan tadi serasa hambar di lidahku. Malam ini, aku gagal menemui pemilik CRV yang mobilnya ditabrak kru kami. Entah di mana dia, padahal aku dan kru yang ada sebagai ‘tersangka’ sudah berusaha mencarinya kerumahnya dengan diantar seorang yang tahu duduk masalah ini. Tapi nihil. Dia tak di sana.

“Jadi bagaimana selanjutnya?” tanyaku. Tapi tak ada jawaban selain dari kata menunggu. Menunggu pemilik CRV itu datang dan membicarakan ini secara kekeluargaan. Aku hanya berharap kalau besok pagi pagi sekali dia akan datang dan masalah akan cepat selesai.

Sebenarnya keadaan ini cukup aneh bagi siapa saja yang mendengarnya. Dalam banyak kasus, bahkan hampir keseluruhan kasus yang ada, yang ada adalah istilah tabrak lari. Dimana yang menjadi ‘tersangka’ yang kabur meninggalkan lokasi kejadian. Tapi ini malah sebaliknya. ‘Korban’lah yang ‘melarikan diri’ dan ‘tersangka’ yang mencari ‘korban’ untuk menyelesaikan masalah ini. Entah apa yang ada dalam pikiran pemilik CRV itu.

Berbagai dugaan kemudian muncul. Salah satu yang paling kuat adalah mungkin mobil yang dikendarai korban adalah mobil curian yang tidak ada surat surat resminya. Sehingga dia takut untuk berurusan dengan kepolisian. Cukup masuk akal kalau di pikir-pikir. Tapi apa benar begitu? Karena kalau melihat rumah tempat tinggalnya yang kami datangi tadi, rumahnya termasuk dalam golongan rumah mewah walau berada di daerah yang jauh dari kota. Dugaan dugaan lain yang mencuat adalah dugaan yang berbau tahayul. Tidak masuk akal aku kira, tapi orang orang yang berhasil kami jumpai di kampungnya sepertinya begitu percaya hal tahayul itu. Entalah, yang pasti malam itu aku pusing sekali. Pusing menerka nerka apa yang akan terjadi besok. Satu yang pasti, besok akan menjadi hari yang melelahkan.

Hari sudah berganti menjadi selasa dengan cepatnya. Kami melangkah gontai kembali kearah polsek. Malam itu kami memutuskan untuk menumpang tidur di musolah polsek sambil menjaga Fair Lady yang anggun dan angkuh itu. Dalam hati kami masing masing, berbagai harapan dan doa mencuat. Berharap semoga ketika matahari terbit, sinar harapan juga akan terbit dan Tuhan berada di pihak kami.

***

Matahari bersinar dengan sangar di hari selasa tangal 3 Juli. Dari pagi, aku dan kru yang ada sudah menunggu kedatangan dari pihak korban. Harap harap cemas. Walau sebenarnya aku tidak tahu apa yang pertama kali harus aku katakan padanya, tapi keinginan untuk bertemu dengan dia begitu besar di dadaku ini. Aku hanya ingin masalah ini cepat selesai. Itu saja.

Dari pihak perusahaanku, menejer utama sudah berkali kali telepon kami. Beliau memberikan arahan-arahan akan tindakan-tindakan dan arah pembicaraan yang seharusnya kami ambil sebagai wakil perusahaan di lapangan. Cukup melegakan buatku yang awam sekali dalam urusan yang seperti ini. Karena sebagai warga negara yang baik, ini kali pertama aku barurusan dengan pihak kepolisian seperti ini.

Jam terus berdetak, menggantikan detik dengan detik berikutnya, menjadikannya menit, kemudian genap menjadi hitungan jam. Matahari bertambah tinggi, tapi yang kami tunggu tunggu belum juga datang. Aku harus bagaimana? Kemana harus aku cari dia? Aku ingin sekali lagi berkunjung kerumahnya. Tapi dengan apa? Disini aku tidak tahu arah. Tidak ada kendaraan pribadi yang bisa aku bawa kesana. Kalau harus naik angkot atau angkutan umum lainnya, aku juga tidak yakin akan sampai ke tempat tujuan dengan benar. Aku tidak tahu apa nama desa pemilik CRV itu tinggal, tapi aku tahu arah dan jalan menuju kesana.

Aku mendesah, berjalan bingung kesana kemari. Dalam hati aku berdoa, menanti sebuah keajaiban. Aku berdoa kepada Tuhan untuk segera mengirimkan si korban ke sini atau memperjalankan aku kesana. Entah bagaimana caranya. Yang aku tahu, Tuhan pasti tahu segala hal. Termasuk dalam urusan ini.

Tak perlu lama bagi Tuhan untuk menunjukkan kekuasaanNYA. Belum juga selesai hati ini berdoa padaNYA, jawaban atas doaku tiba tiba melintas begitu saja di depanku. Jawaban itu bernama Hanafi.

Mas Hanafi adalah teman akrabku di Surabaya. Dia adalah penjual bakwan yang setiap hari melintas di depan tempatku bekerja. Keakraban kami terjalin seiring dengan seringnya aku membeli bakwan dagangannya. Mulai dari hal kecil itu sampai hang out bersama di waktu waktu senggang kami. Pertemanan kami berubah menjadi persahabatan yang kental. Saling curhat dan saling memberi semangat satu sama lainnya layaknya sahabat yang sudah kenal bertahun tahun lamanya.

Hari ini, melalui dia pulalah Tuhan menjawab doaku. Secara ‘kebetulan’ dia lewat di depan polsek tempat aku menunggu si korban datang. Kami sempat sama sama terkejut ketika menyadari kami bertemu tidak pada tempat yang ‘seharusnya’. Ada apa dan mengapa?

“Aku asli daerah sini mas, tapi dari desa sebelah. Masih jauh dari sini sebenarnya,” jawabnya padaku waktu itu. “dan sekarang anakku sedang di rawat di rumah sakit.” Mendengarnya membuat hatiku terenyuh rasanya. Rumah sakit yang dia maksud hanya berjarak sekitar lima puluh meter dari polsek yang mengurusi masalahku ini. Betapa kuasanya Tuhan. Betapa Maha Pengaturnya Dia. Sewaktu aku balik menceritakan apa yang terjadi padaku dan apa yang aku butuhkan, mas Hanafi langsung menawarkan jasanya untuk mengantarkanku ke rumah si korban. Dengan berbekal ingatanku yang remang remang semalam, akhirnya aku meluncur juga ke rumah si korban.

Lihatlah walkers, betapa sebenarnya Tuhan itu ada tidak jauh dari kita. Tuhan itu ada dan selalu mendengarkan apa yang kita ungkapkan. Bagaimanapun caranya kita mengungkapkan itu. Dengan berteriak ataupun berbisik, bahkan ketika kita menggungkapkannya hanya dalam hati saja. Tuhan selalu hadir dan selalu akan menjawab apa yang kita butuhkan dengan caraNYA sendiri. Dengan keajaiban keajaiban kecil yang dipersiapkannnya untuk kita.

Masihkah kita akan mengingkarinya?


















READ MORE - RJK 2012 07 10, Selasa : Dari Kecelakaan Itulah Kisah Ini Berawal

Minggu, 01 Juli 2012

RJK 2012 07 01, Minggu : Sohibul Menara, Gie dan Segumpal Komitmen


Salmon




Hari ini aku baru saja selesai membaca novel Negeri 5 Menara karya A. Fuadi. Tapi buku Soe hok Gie : Catatan Seorang Demonstran yang lebih dulu mulai aku baca belum juga kelar. Ada satu daya hipnotis yang kuat yang bisa membuatku betah untuk menyelesaikan novel Negeri 5 Menara ini. Entahlah. Yang sudah pernah membacanya pasti tahu bagaimana rasanya terhipnotis oleh buku ini. Bahasanya yang mengalir, diksinya yang tepat, penjabarannya yang indah dan aliran semangatnya yang luar biasa itu, seolah mampu untuk membuatku menatapnya sampai di titik paling akhir.


Banyak buku dan karya yang ditulis dengan kalimat-kalimat yang luar biasa. Kalimat-kalimat yang kadang untuk memahaminya, kita harus membacanya berlulang kali. Menelaah lagi dan lagi. Kadang, bahkan kita harus membuka kamus yang tebal atau datang kepada om Google untuk mencari referensinya. Menurutku itu baik. Membuat kita jadi mau belajar dan mau berfikir lebih dalam. Tapi sejak aku membaca novel Negeri 5 Menara ini, aku malah semakin yakin akan pilihanku untuk menulis segala sesuatu dengan bahasa yang lebih ‘mudah’. Bahasa yang terlihat santai, mudah di cerna dan dengan kalimat kalimat yang sederhana. 

Menurutku bahasa bahasa seperti ini justru lebih bisa dinikmati oleh siapa saja. Mampu memberikan pengertian yang lebih mendalam kepada siapa saja. Seperti Negeri 5 Menara, atau novel novel karya Andrea Hirata, tak bisa dipungkiri kalau peminat dan pembacanya datang dari semua golongan. Dari mereka yang masih belia sekali, sampai ibu rumah tangga yang sibuk dengan urusan keluarganya seharian penuh. Aku kira tulisan jenis ini juga aku kira cocok buat mereka yang lelah seharian bekerja di kantor dan butuh sesuatu yang bisa menyegarkan pikiran mereka sembari pulang kantor dan menghadapi kemacetan di jalan. Aku ingin membacanya sekali lagi. Tapi Ranah 3 Warna, buku kedua dari trilogi menara sudah di tanganku dan sudah mengetuk ngetuk dinding nafsu membacaku untuk segera membuka halaman demi halamannya.

Lalu kapan giliran Gie untuk kusimak bagian akhirnya? Sekali lagi, entahlah. Mungkin setelah ini, atau mungkin setelah aku puas membaca Ranah 3 Warna sampai tamat. Ada satu perasaan yang janggal saat aku membaca bagian akhir dari catatan Gie. Rasanya aku tak ingin berhenti untuk terus membaca dan mengikuti rekam jejak hidupnya. Rasanya aku tidak pernah akan rela kalau catatan itu sampai pada akhir. Aku ingin catatan kehidupannya itu tidak pernah akan berakhir. Maka itu aku tidak ingin untuk menuntaskannya, karena membaca bagian akhir dan menutup sampul akhirnya, berarti aku sudah sampai pada bagian akhir dari perjalanan hidupnya. Dan setelah itu aku harus tahu kalau dia sudah mati. Sesuatu yang sampai saat ini belum bisa aku terima.

Orang seperti dia itu, adalah orang yang seperti disampaikan oleh khotib solat Jum’at kemarin. “Ada sebagian orang yang tetap hidup, padahal alangkah lebih baiknya kalau mereka mati. Tapi juga ada sebagian dari orang yang sudah mati, padahal seharusnya mereka itu masih ada ditengah tengah kita untuk menebarkan kebaikan”. Seperti cerpen Fase yang kutulis. Orang seperti Gie, walau dia bukan seorang muslim, adalah seekor kupu kupu dalam imajiku. Dia adalah salmon yang berani menentang arus sungai untuk satu tujuan mulia. Itulah sosok Gie di mataku. Besar dan akan tetap saja harum sampai kapanpun. Dia bukan hanya orang yang besar secara pemikiran, tapi juga orang yang besar karena dia berani bertindak.  Memperjuangkan apa yang menjadi keyakinan dalam hidupnya.

Satu pertanyaanku, apakah saat ini ada orang semacam dia yang masih hidup? Aku ingin tahu. Tapi lebih jauh lagi, aku ingin tahu, apa aku bisa menjadi orang yang, minimal, seperti dia. 

Ah, sudahlah. Aku tidak ingin larut dalam pengandaian andaian. Karena berandai andai itu datangnya dari setan yang ingin melenakan dan menjauhkan kita dari tujuan kita semula. Aku ingin mulai saat ini aku bisa berbuat lebih dari yang dilakukan oleh orang lain di sekitarku. Seperti nasihat Said kepada Sohibul Menara. Berbuat sedikit lebih banyak itu sepertinya tidak sulit. Aku hanya butuh untuk lebih disiplin lagi seperti apa yang ibuku ajarkan padaku sejak kecil. Menjadwalkan semuanya dan mematuhi jadwal yang aku buat itu. Tidak perlu jadwal secara tertulis. Hanya sebuah komitmen yang kuat yang aku butuhkan untuk itu.

“Novelmu kapan selesai? Pastikan aku jadi pembeli pertamanya.” Kata kata dari seorang teman itu terus terngiang di telingaku. Aku sudah mulai menuliskannya memang, tapi tanpa komitmen yang kuat dan kedisiplinan yang terus terjaga, kapan pertanyaan itu akan berhenti di pertanyakan kepadaku?

Dari dulu aku sudah yakin memang, kalau kesuksesan itu dapat diraih hanya dengan dua langkah mudah. Memulai dan berkomitmen sampai akhir. Tapi inilah yang sulit aku lakukan. Aku ingin melakukan apa yang dinasihatkan Kyai saat Alif di tahun pertamanya di PM. “Kalau kalian akan menyerah pada bulan pertama, cobalah bertahan sampai bulan kedua. Kalau kalian bosan pada tahun pertama, cobalah bertahan sampai tahun kedua. Kalau kalian ingin pulang di tahun ketiga, cobalah untuk bertahan sampai tahun keempat.” Kurang lebih begitu bunyinya. Sebuah percobaan yang sempurna istilahnya. Sebuah komitmen yang terus harus diperjuangkan. Semoga aku bisa.

Bang A. Fuadi, terimakasih sudah mau berbagi dengan kami tentang semangat Man Jadda Wa Jadda ini. Aku ingin tahu apa yang dia simpan untuk dibagikan di Ranah 3 Warna. Mari mulai membaca.

READ MORE - RJK 2012 07 01, Minggu : Sohibul Menara, Gie dan Segumpal Komitmen