Kamis, 21 Juni 2012

Amanah


Gambar Dari Sini
Amanah. Satu dari empat sifat wajib bagi seorang rasul ini adalah elemen yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Mungkin sebagian orang menganggap ini adalah hal kecil dan remeh temeh. Tapi tahukah kita kalau sebenarnya amanah adalah satu hal yang sangat tidak bisa diabaikan?

Kalau kita lihat dilayar kaca, di media cetak, atau bahkan mungkin kita menyaksikan dengan mata kepala kita sendiri tentang demonstrasi yang dilakukan oleh sekelompok orang, kita pasti akan berfikir tentang apa yang sebenarnya terjadi dan diinginkan para demonstran itu. Tidak hanya demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa untuk satu tujuan yang bertingkat nasional, bahkan di desa, di kampung sekalipun, sering kita dengar sedang di gelar demonstrasi. Mereka yang sedang berdemonstrasi itu menyerukan berbagai tuntutan mereka. Mulai dari penurunan harga BBM, misalnya, sampai pada hal-hal lain seperti menuntut keadilan akan suatu peristiwa, bahkan pemaksaan kepada orang-orang yang berkuasa untuk turun. Nah, mengapa begitu? Bukankah para pemimpin itu, semisal presiden atau kepala desa, adalah orang yang dipilih oleh rakyatnya sendiri untuk menduduki jabatan itu? Lalu mengapa mereka harus di minta turun dengan paksa sementara masa jabatannya belum waktunya berakhir? Jawabnnya, ya, karena ‘amanah’ yang mereka ingkari.

Dulu sewaktu masa pemilihan, para calon pemimpin itu beryel-yel dan berseru-seru tentang program-program unggulan mereka. Begitu meyakinkan. Membuat yang mendengarnya begitu terpesona dan percaya penuh akan janji-janji manis mereka. Tapi setelah mereka memangku jabatan itu apa yang mereka lakukan? Mereka seakan lupa akan apa yang mereka janjikan dulu. Bukan lagi rahasia umum kalau sebagaian besar dari mereka berlomba-lomba untuk memperkaya diri sendiri dan melupakan rakyatnya. Mereka melupakan posisi mereka sebagai pemimpin. Mereka melupakan amanah yang sudah disematkan di pundak mereka.

Rakyat yang dipimpin mulai tidak puas. Mereka mulai resah dan menuntut, sampai terjadilah hal itu. Demonstrasi penurunan pemimpin dari tampuk kepemimpinannya. Lalu setelah itu mereka bisa apa? Apa mereka akan bertindak seperti Soeharto yang dengan terpaksa (?) menyerahkan kursi kepridenannya atau akan berbuat seperti Qadafi yang menyatakan itu tindakan makar dan memerangi raknyatnya sendiri? Apapun tindakan yang akan mereka lakukan, toh semua akan kembali lagi pada suatu kesimpulan : mereka bukan orang-orang yang memengang teguh amanah yang seharusnya mereka jaga. Lalu setelah itu apa jadinya mereka? mereka menjadi orang-orang yang dikutuki dan tidak lagi dipercaya oleh banyak orang.

Dalam sebuah hadits yang shahih disebutkan:

أَلاَ كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، فَالْإِمَامُ الْأَعْظَمُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَتِهِ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَتِهِ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى أَهْلِ بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْؤُولَةٌ عَنْهُمْ، وَعَبْدُ الرَّجُلِ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْؤُولٌ عَنْهُ، أَلاَ فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

"Setiap kalian adalah ra’in dan setiap kalian akan ditanya tentang ra’iyahnya. Imam a’zham (pemimpin negara) yang berkuasa atas manusia adalah ra’in dan ia akan ditanya tentang ra’iyahnya. Seorang lelaki/suami adalah ra’in bagi ahli bait (keluarga)nya dan ia akan ditanya tentang ra’iyahnya. Wanita/istri adalah ra’iyah terhadap ahli bait suaminya dan anak suaminya dan ia akan ditanya tentang mereka. Budak seseorang adalah ra’in terhadap harta tuannya dan ia akan ditanya tentang harta tersebut. Ketahuilah setiap kalian adalah ra’in dan setiap kalian akan ditanya tentang ra’iyahnya."

(HR. Al-Bukhari no. 5200, 7138 dan Muslim no. 4701 dari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu 'anhuma). Makna ra’in adalah seorang penjaga, yang diberi amanah, yang harus memegangi perkara yang dapat membaikkan amanah yang ada dalam penjagaannya. (sumber : http://www.ikhwanmuslim.or.id/?content=hadits_detail&idb=27)

Kalau merujuk pada hadits di atas, bahkan setiap diri adalah pemimpin bagi dirinya sendiri. Yang berarti setiap kita adalah pemengang amanah untuk diri kita sendiri. Mau di bawa kemana diri kita ini, adalah menjadi tanggungan kita kelak di hadapanNYA. Jangan sampai kita yang diberi kepercayaan oleh yang Maha Agung malah menghianati kepercayaan itu. Kalau sampai itu terjadi, adzab besar akan menanti kita disana kelak. Berat sesungguhnya menjadi seorang pemimpin yang diberi kepercayaan untuk memimpin ini. Kelak mereka akan dimintai pertangungjawabannya akan apa yang mereka pimpin. Apa lagi kalau sampai mereka berkhianat akan apa yang mereka pimpin. Tidak terbayangkan bertapa besarnya pertanggungjawaban yang harus mereka lakukan.

Ibuku sejak kecil sudah mendidikku dengan pendidikan tentang sifat amanah yang ketat. Pernah suatau ketika, seorang tetangga yang baru datang dari  Surabaya datang kerumah tanpa dia masuk dulu kerumahnya. Tujuannya hanya satu, yaitu menyampaikan titipan seorang keluarga jauhku di Surabaya untuk ibuku. Saat itu ibuku berkata, “Contohlah orang itu, begitu seharusnya orang yang memangang amanah dengan kuat.” Jadi jangan coba-coba aku pulang dengan keadaan masih memegang titipan dari orang lain untuk disampaikan kepada seseorang. Pernah juga ibuku menitipkan sepucuk surat untuk disampaikan kepada seseorang, dengan pesan untuk tidak sekali kali melihat apa yang tertulis di sana. Padahal amplop surat yang aku bawa itu sama sekali tidak bersegel. Tidak di lem atau direkatkan dengan cara apapun. Ibu mendidik kami untuk menjaga kepercayaan dari orang lain kepada kami dengan cara beliau sendiri. “Sekali kalian ketahauan tidak bisa dipercaya, maka akan selamanya orang tidak akan lagi percaya pada kalian. Mahal harga kepercayaan itu. Tidak bisa di beli, tidak di perjual belikan, tapi harus dibuktikan.”

Keluargaku memang bukan keluarga yang berkecukupan. Setiap ibu memasak sesuatu, pasti beliau sudah menghitunya dengan cermat. Misalnya saat beliau memasak dadar jagung. Dadar jagung itu pasti sudah di sesuaikan dengan jumlah anggota keluarga  yang ada. Kami, misalnya, hanya boleh mengambil dua dadar jagung untuk makan siang, dan dua lagi untuk makan malam. Maka jangan coba coba untuk berbuat curang. Ibu pasti tahu. Kalaupun ada yang berbuat curang, konsekuensinya adalah makan malam tanpa lauk sama sekali. Terdengar sedikit kejam mungkin untuk anak kecil. Tapi sungguh, ini adalah cara yang sangat efektif. Dari sana kami belajar untuk memengang amanah dari ibu . belajar jujur untuk diri sendiri. Belajar bagaimana untuk bisa menjaga kepercayaan yang disandangkan pada kami dengan baik. Bagiku ibuku adalah segalanya. Wanita terbaik yang pernah aku temui dalam mendidik kami, sebagai titipan Tuhan yang dipercayakan kepadanya. 

“Ujian untuk kejujuran itu seumur hidup, tapi ujian untuk sebuah dusta adalah sekali saja.”

Mari mulai untuk bisa menjadi pemimpin untuk diri sendiri, mari mulai belajar untuk menjadi orang yang bisa di percaya dari lingkungan yang kecil dulu. Mari berbenah mulai dari diri sendiri. Bukankah sesuatu yang besar itu dimuai dari sesuatu yang kecil? Kalau kita sudah berani berdusta pada diri sendiri, berani curang pada diri sendiri, berani tidak jujur pada diri sendiri, bagaimana lalu kita bisa berbuat baik kepada orang lain? Bagaimana lalu kita bisa dipercaya oleh orang lain?

Mari berbenah bersama kawan, mari jadikan diri kita orang yang pantas di percaya. Aku yakin kita bisa!



Artikel  ini untuk menanggapi artikel BlogCamp berjudul Kepercayaan itu Mahal 
tanggal 21 Juni 2012.


READ MORE - Amanah

Minggu, 17 Juni 2012

RJK 2012 06 17, Minggu : Ketika Dolly Menyentuh Hatiku

Gambar dari Sini
Siapa yang tidak kenal kawasan Dolly, Surabaya? Kawasan prostitusi yang konon katanya adalah yang terbesar di Asia Tenggara ini adalah kawasan ‘kelam’ Surabaya. Mungkin sebagian orang beranggapan kalau matahari tidak pernah terbit di kawasan ini. Dolly adalah kawasan ‘malam yang kelam’ bagi sejarah, masa kini dan masa depan Surabaya. Andai suatu saat nanti kawasan ini benar benar ditutup dan dinyatakan ilegal untuk segala kegiatan prostitusi, tapi aku kira nama Dolly sudah begitu melekat sebagai ‘icon’ Surabaya. Tidak terpisahkan.

Aku sebenarnya juga sudah beberapa kali mengunjungi tempat ini. Entahlah, sudah tidak terhitung dengan jari berapa kali aku menginjakkan kaki ke sana, dan masuk ke salah satu tempat yang terletak berderet rapat dengan akuarium-akuarium kemaksiatan itu. Aku juga persetan dengan apa kata orang tentang keberadaanku di sana. Aku tidak pernah ambil pusing. Toh bagiku, apa yang aku lakukan adalah benar dan tidak dilarang agama. Jadi mengapa juga masih ambil pusing dengan mereka yang mencibir? Bahkan mereka yang menghujat itu, aku rasa mereka tidak lebih baik dengan aku dan teman-temanku yang hampir memiliki jadwal rutin untuk berkunjung ke sana.

Seperti juga hari ini, Minggu, 17 Juni 2012. Hari ini, sejak pukul sepuluh tadi pagi, sampai pukul dua siang tadi aku berada di sana. Berada di salah satu bagungan Dolly dan bercengkrama, berinteraksi serta saling memberi kesenangan dengan penghuninya. Aku datang tidak sendiri, tapi bersama seorang sahabat yang juga seniorku untuk acara kunjungan rutin kesana. Beliau adalah bunda Titie Surya. Datang juga kesana bersama kami beberapa anggota grup penulis, Bonektim.

Begitu aku masuk ke salah satu gang di sana, beberapa anak kecil yang sedang asyik bermain serentak berlarian kearah kami. Mereka meneriakkan nama bunda Titie dengan lantang. Melihat adegan ini, hati kecilku terharu sekali rasanya. Amat terasa kedekatan antara bunda Titie dan anak-anak Dolly ini. Bagi bunda, mereka tak ubahnya seperti anaknya sendiri. Anak-anak yang bunda sayangi dengan penuh hati. Bunda juga tampak sudah tidak asing lagi bagi warga gang itu. Di sepanjang jalan, banyak orang-orang yang bertegur sapa dengan beliau.

“Bunda, kami kemarin juara harapan dua lomba patrol, bund …,” kata mereka bersahut sahutan, riuh rendah.

“Ya bund, bener, juara bund …,” kata yang lain menimpali dengan bangganya.

“Wah…, hebat itu.” Timpal bunda. Mereka semua senang. Anak-anak kecil itu berlariang kian kemari sambil menyalami tangan bunda bergantian. “Tapi ini sudah pada mandi belom?” tanya bunda.

“Sudah bund.”

“Sudah tadi pagi.”

“Wah, bagus. Bener ya sudah pada mandi semua.”

“Sudah bund, sungguh ….”

Tak lama kemudian kami sampai di sebuah bangunan sederhana. Di bagian depan bangunan ini jelas tertulis “Taman Bacaan Masyarakat Kawan Kami”. Kesanalah biasanya aku, bunda Titie dan teman teman dari Bonektim menjadwalkan kunjungan seminggu sekali. Bangunan ini sebenarnya adalah rumah biasa yang disulap mejadi taman bacaan yang bisa dikunjungi oleh siapapun. Di sana ada dua ruangan khusus yang berisi buku-buku layaknya sebuah perpustakaan. Setiap hari minggu, bunda Titie dan teman teman Bonektim secara bergantian mengajar anak-anak disana untuk menulis puisi, membaca puisi dan berbagi hal-hal yang sifatnya mendidik.

Sejak pertama kali berkunjung kesana, hatiku ini rasanya terharu oleh ketulusan teman-teman Bonektim untuk secara sukarela mengajar mereka secara cuma-cuma. Mereka tidak mendapakan bayaran sedikitpun. Lebih-lebih saat aku menyaksikan antusiasme dari anak-anak kecil itu untuk belajar. Mulai dari membersihkan karpet yang digelar disana, mengambil dan menata bangku bangku kecil yang mereka gunakan untuk menulis sampai dengan penuh semangat mulai mencorat-coret kertas kosong dengan puisi yang melintas di kepala mereka. Di dalam ruangan itu, sama sekali aku lupa kalau aku sedang berada di dalam kawasan Dolly. Kawasan hitam Surabaya. Di sana tak ubahnya aku berada di sebuah tempat, dimana hanya ada keluguan anak-anak bersama semangat belajar mereka yang tinggi. Tidak ada kemaksiatan yang diperbuat, tidak ada norma yang dilanggar. Yang ada hanyalah keinginan untuk menjadi lebih baik, rasa kebersamaan dan saling berbagi. Indahnya!

Hal lain yang membuat aku benar-benar terharu adalah saat aku minta izin kepada pak Katono (pengurus TBM Kawan Kami) untuk mendirikan solat Duhur di sana. Tak di sangka, ternyata berbondong-bondong anak-anak  yang sejak tadi berlatih menulis dan baca puisi di ikut solat juga. Riuh rendah suara mereka berebut untuk berwudu, mengambil sarung, mukenah dan sejadah. Melihat mereka yang begitu antusias untuk mendirikan solat berjamaah, rasanya air mata ini tidak akan lagi bisa terbendung untuk menetes. Betapa benar kalau mereka itu adalah mahluk-mahluk Allah yang suci. Yang masih tidak bercampur dengan dosa sama sekali. Apa lagi saat beberapa yang kecil memintaku untuk memasangkan dan merapikan sarung  yang meraka kenakan. Subhanallah, hati ini rasanya berdenyut begitu sahdu. Aku tahu siapa orang tua mereka. Aku tahu dari uang macam apa mereka di besarkan. Aku bahkan mengerti dilingkungan seperti apa mereka di besarkan. Tapi lihatlah, betapa mereka adalah jiwa-jiwa yang bersih. Jiwa-jiwa yang masih seperti gelas yang kosong, yang siap diisi dengan apapun yang akan diisikan.

Bila matahari tak pernah terbit di kawasan Dolly, bila Dolly adalah sisi kelam dari sejarah Surabaya, bila Dolly ibaratkan malam, maka mereka bagiku ibaratkan bintang. Ya, mereka adalah bintang yang menghiasi malam itu. Bukankah malam yang gelap menjadi indah karena bintang-bintang yang bertaburan? Bahkan saat malam tiba, bintang-bintang itulah yang menjadi pemandu kita agar kita tidak pernah tersesat dilautan yang luas.

Sebersit harapan di hatiku, semoga mereka menjadi anak-anak yang terus terjaga hingga masa tua mereka. Semoga mereka tetap menjadi bintang yang indah dan mampu berbagi keindahannya itu. Semoga mereka tidak akan pernah menjadi pewaris dari kelamnya sejarah Surabaya. Aku beraharap suatu saat mereka bisa mejadi matahari yang bersinar terang untuk melenyapkan malam yang selalu menyelimuti Dolly. Hingga suatu saat, matahari benar-benar bisa bersinar dengan terang benderang di langit Dolly dan melenyapkan malam panjang bagi Dolly. Amin.

Sebenarnya masih banyak sisi lain dari kawasan Dolly yang ingin aku bagi dengan kalian semua, walkers. Tapi mungkin suatu saat nanti. Insyallah.

READ MORE - RJK 2012 06 17, Minggu : Ketika Dolly Menyentuh Hatiku

Sabtu, 16 Juni 2012

RJK 2012 06 16, Sabtu : Sebenarnya Si Ide itu Sedang Berjalan-Jalan di Depan Kita

Gambar dari Sini

Beberapa hari yang lalu, aku sedang duduk di tepi jalan saat ide untuk menulis posting ini melintas. Waktu itu aku sedang menunggu motorku di tempeli stiker untuk menutupi goresan goresan halus akibat usia di sekujur badannya. Alhasil, sekarang motorku - sebenarnya motor kantor - punya penampilan baru yang lebih fres.

Saat itu, ditemani buku Catatan Seorang Demonstran dan segelas es teh, satu opini yang sudah lama aku yakini, tiba-tiba saja muncul kembali begitu saja. Opini itu adalah bahwa sebenarnya ide itu ada di mana saja dan siap untuk dijadikan apa saja. Ya, benar walkers, ide itu sebenarnya ada di mana saja, kapan saja. Ide itu sedang berjalan jalan dan siap untuk kita kantongi dalam otak kita. Jadi siapa bilang kalau mendapatkan ide itu adalah suatu yang sulit?

Contohnya saja begini. Saat itu aku sedang duduk di jalan Genteng Kali di seberang jalan dari Tunjungan City (Eks. Shiola). Di kanan dan kiriku berderet deret (orang-orang miskin?) yang menjajakan jasa pemasangan stiker ke badan motor atau mobil. Disana juga terdapar  bangunan-bangunan tua yang kurang terawat. Sebuah keadaan yang sangat kontra sekali dengan apa yang ada di seberang jalannya. Di mana di sana berdiri dengan mengah bangunan Tunjungan City, beberapa restoran dan beberapa gedung lain seperti gedung Cak Durasim. Kalau kita peka, ini bisa dijadikan bahan untuk sebuah cerpen atau tulisan jenis lain. Kita bisa membuat bapak pemasang stiker itu sebagai tokoh utamanya. Dia adalah seorang miskin yang setiap hari berhadapan langsung dan dengan leluasanya memandang apa yang ada di balik dinding dinding kaca Tunjungan City dan segala kemewahan yang ditawarkan di dalamnya. Tapi tidak pernah ada satu kesempatanpun baginya untuk masuk kesana dan menikmati setiap sarana yang disediakan. Dalam pikirnya, untuk apa masuk ke sana kalau cuma bisa menelan ludah saat ingin ini dan itu. Ironi yang lain adalah bahwa setiap hari dia harus memasang stiker ke badan motor atau mobil yang bahkan mungkin tidak pernah terlintas dalam pikirannya untuk memilikinya. Ironi yang menyakitkan bukan? Dimana kemewahan dan kemelaran bersanding dengan mesrah di tengah kota yang bernama Surabaya ini. Sebuah ide, walkers, sebuah cerita. Mungkin bisa lebih seru lagi kalau kita menambahkan bumbu ini dan itu dalam tulisan kita itu.

Contoh lainnya adalah ketika seorang yang terganggu jiwanya melintas di depanku. Menurutku, dia ‘bukan orang gila biasa’. Tidak seperti kebanyakan orang gila, yang satu ini berkulit kuning langsat dengan wajah yang bukan wajah khas orang Indonesia asli. Aku bisa terka dia adalah seorang keturunan Tionghoa. Sangat jarang kita melihat ada orang ketirunan Tionghoa gila yang berkeliaran di jalanan seperti itu. Nah ini sekali lagi bisa jadi bahan cerita. Mari kita mulai berimajinasi. Bisa, umpamanya kita gambarkan dia sebagai orang dari keluarga berada pada mulanya, kemudian karena satu dan beberapa hal, akhirnya dia menjadi gila. Bisa kehilangan hartanya yang melimpah, atau karena ditinggal istrinya, atau bisa saja penyebab lainnya. Lihat, amati, rasakan, imajinasikan, dan tuliskan, maka sebuah cerita sekali lagi akan muncul dari hal yang sederhana.

Hal lain yang mungkin bisa diangkat untuk bahan tulisan adalah ketika ada sepasang anak muda mudi berseragam SMP yang melintas dan berhenti tak jauh dari tempatku duduk. Dari jauh sudah terlihat jelas wajah si cewek yang manyun dan si cowok yang ‘ngomel’ di belakangnya. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi antara mereka. Tapi mungkin adalah hal klise. Untuk sekali lagi, mari berimajinasi. Kali ini, silahkan kalian berimanijasi sendiri, walkers. Imajinasikan seperti apa yang kalian bisa. Berimajinasi itu seperti bermimpi, dan bermimpi itu mengasikkan. Kita tidak sendang menuduh dan mencurigai atau memfitnah seeorang bukan? Maka itu, bermimpi dan berimajinasi itu bukan sebuah dosa aku kira.


Gambar dari Sini


Kalau masih kurang, aku tambahkan satu bukti lagi kalau sebenarnya ide itu sedang berjalan dalan dan ada di mana saja. Malam itu, aku sedang berada di atas kedaraan penggendong mobil milik perusahaan tempatku bekerja. Saat itu towing (kendaraan penggendong mobil) kami melintas di depan hotel Singgasana jalan Gunung Sari Surabaya. Di sisi kiriku mengalir dengan tenang sungai Mas yang mengantarkan berjuta juta kubik air ke lautan lepas. Sinar bulan yang keperakan memantul dengan lembut di permukaanya. Pantulannya seperti ribuan kunang-kunang yang sedang menari diatas air. Melihat itu, satu ide segar lagi-lagi muncul di otakku. Aku berimajinasi bahwa di sana ada rumah makan yang sebagian bangunannya mengapung di tepi sungai. Ada lampu lampu kecil yang indah yang menghiasinya, ada perahu kecil yang mengapung kesana kemari di tengah sungai, dan sepasang muda-mudi yang di mabuk cinta sedang asik mendayung perahu berdua. Betapa romantisnya suasana itu, dan kembali, satu peristiwa, satu imajinasi, satu cerita, satu tulisan tercipta. Jadi, untuk sekali lagi, siapa bilang ide itu sulit didapatkan?

Walkers, mulai sekarang lebih pekalah. Ubah cara pandang kita untuk bisa menangkap si ide yang sedang berjalan jalan dan menggoda kita untuk menangkapnya untuk kemudian menuangkannya dalam sebuah tulisan. Jadi mulai sekarang tidak ada lagi alasan untuk berkata, “maaf, ide lagi mampet” ketika kita diminta untuk menulis.

Menulislah banyak-banyak. Semakin banyak kita menulis, semakin baik kemampuan kita dan semakin keren imajinasi-imajinasi yang bisa kita hasilkan. Kata pepatah : alah bisa karena biasa.
READ MORE - RJK 2012 06 16, Sabtu : Sebenarnya Si Ide itu Sedang Berjalan-Jalan di Depan Kita

Minggu, 10 Juni 2012

RJK 2012 06 10, Minggu : Seorang Kakek Tua di Jum'at Malam dan Orang Orang Hebat di Minggu Siang.

Gambar diambil dari sini


Jum’at malam kemarin, saat berhenti di lampu merah di depan hotel Sahid, aku melihat seorang kakek sedang menjajakan koran. Kutaksir usianya tidak kurang dari 70 tahun, rambutnya sudah memutih semua, tubuhnya kurus ringkih dan berjalan dengan tertatih. Padahal saat itu sudah lebih dari pukul sembilan malam. Hatiku serasa perih melihat itu. Sebuah ironi dan gambaran jelas sebuah ketimpangan sosial dan mungkin juga matinya toleransi di kota besar seperti Surabaya ini. Kita semua pasti tahu daerah di sekitar sana. Sebuah persimpangan jalan besar yang di kelilingi dan berdekatan dengan tempat tempat dimana kemewahan di manjakan. Hotel Sahid, stasiun Gubeng, Grand City Mall, Surabaya Plasa (delta), WTC, Monkasel dan sederet perkantoran kelas atas berjarak tidak lebih dari lima ratus meter dari sana. Tapi mengapa masih ada seorang tua yang berjalan dengan tumpukan koran di jalanan di malam yang sudah hampir larut juga di tempat seperti itu? Mengapa juga anak anak jalanan masih saja setiap hari kita lihat ada di sana? Padahal, gedung pemerintahan tidak sampai satu kilometer jaraknya. Mobil mobil mewah juga bukan hanya satu dua yang lewat disana. Tapi ratusan setiap harinya. Dimana nurani? Aku ingin bertanya. Dimana kebijaksanaan pemerintah? Aku ingin menangih. Tapi pada siapa? Jujur, aku tak tahu.

UUD pasal 34 ayat (1) maka akan berbunyi “Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh NEGARA.” Apakah ini berarti bahwa kemiskinan dan kefakiran itu sendiri yang dipelihara oleh negara agar tetap ada? Bukan malah untuk di entaskan? Maka mungkin benar apa yang dituliskan Soe Hok Gie dalam catatan hariannya. “Ya, dua kilometer dari pemakan kulit “paduka” kita mungkin lagi tertawa-tawa, makan makan dengan istri-istrinya yang cantik.”  (Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran kamis, 10 Desember 1969, halaman 69). Sebuah ironi, walkers, kalau boleh aku bilang. Dan bagaimanapun aku sadar, aku adalah bagian dari ironi itu. Aku melihat, aku merasakan adanya ketidakberesan, tapi aku tidak (bisa) berbuat apa apa. Bukankah membiarkan kesalahan itu berarti mendukung kesalahan itu sendiri? Kalau aku ingin mengutuk orang orang di sekelilingku, maka pasti kutukan itu berlaku pula buatku.

Melihat kondisi seperti itu, disisi lain aku jadi bertanya tanya. Mungkinkah aku akan seperti dia suatu saat nanti (aku berdoa dengan sangat untuk tidak pernah menjadi seperti itu, tapi tetap, sepenuhnya aku sadar, segala kemungkinan itu ada, bahkan yang terburuk sekalipun). Apakah di masa tuaku aku akan bernasib sama seperti kakek tua itu? Hidup (mungkin) sebatang kara, tanpa seorangpun yang mau perduli akan nasibnya. Di usia senja yang seharusnya seorang sudah duduk manis menikmati hasil jerih payahnya di masa muda, masih saja harus berjuang untuk bisa makan malam itu. Aku selalu berdoa kepada Tuhan untuk menolak garis takdir semacam itu. Tapi ketika Tuhan berkehendak untuk menguji hambanya, siapa tahu? Setidaknya sekarang aku ingin menolong, walau dengan sekeping limaratus rupiah yang ada di saku celanaku. Agar mungkin nanti saat aku butuh, Tuhan akan mengembalikan limaratus rupiahku itu dalam bentuk yang lain.

Walkers,

Belum lagi jauh dari sana, di perempatan sebelum THR, lagi lagi aku berjumpa dengan pedagang koran yang menjajakan sisa koran tadi pagi. Tapi kali ini adalah seorang anak perempuan yang belum juga genap enam tahun usianya. Dia mendekat kearahku, mulanya aku kira dia akan menawarkan koran yang dia bawa, tapi yang kemudian keluar dari mulutnya adalah “pak…, saya belum makan dari pagi pak, minta pak…”

 Ironis!

***



Minggu siang adalah cerita lain yang ingin aku bagikan dengan kalian, walkers. Minggu siang aku bertemu dengan orang orang hebat dalam sebuah acara kopdar yang diadakan di Kebun Bibit Bratang. Mereka adalah anggota grup penulis “Bonektim” (BONdo cEndol EKsklusif jawa TIMur). Di sana hadir bunda Titie Surya (penulis, pemilik penerbitan Prima Pustaka Publishing, ketua Bonektim dan koordinator acara), mbak Wahyu (penulis), Jacob Julian (penulis novel Pocong Galau dan Hitech, penulis cerpen di beberapa majalan dan buku antologi) Axia Paramitha (monologer), Citra (penulis puisi dan cerpen), Zahara Putri (penulis enam belas antologi cerpen) ibu Evi Suryati (penulis, penggemar buku, dan pegawai perpustakaan daerah Surabaya), pak Kartono (pengurus TBM Kawan Kami) dan sejumlah nama lainnya yang sudah memililiki karya. Di sana mereka sedang membicarakan peluncuran buku mereka yang selanjutnya. Sebuah buku yang bernuansa cinta dan berseting di Surabaya.

Berada di tengah tengah mereka, aku bagaikan burung gagak di tengah kerumunan burung merak. Bukan apa apa, bukan siapa siapa, tiada indah. Kalau di tanya apa alasan aku berada di tengah tengah mereka saat itu, jawabannya adalah karena aku yakin kata pepatah “seorang yang berkumpul dengan penjual minyak, pasti akan kecipratan harumnya juga” adalah benar. Seorang yang baik, yang benar dan yang indah, pasti suatu saat akan menyebarkan keindahan itu pada lingkungan sekitarnya. Mereka adalah insprasiku untuk terus berkaya dan terus belajar. Semoga suatu saat, aku akan bisa menjadi merak seperti mereka, merak merak yang indah dan berbagi keindahan.
READ MORE - RJK 2012 06 10, Minggu : Seorang Kakek Tua di Jum'at Malam dan Orang Orang Hebat di Minggu Siang.

Jumat, 08 Juni 2012

RJK 2012 06 08, Jum'at : Berburu Gie

Halo walkers,






Sejak semalam sampai hari ini aku melanjutkan membaca buku Catatan Seorang Demonstran, membaca jejak kehidupan seorang Soe Hok Gie. Pada masa sekitar tahun 1962, saat dia berumur 20 tahun, dia sudah menjadi orang yang berbeda dari pemuda pemuda sebayanya. Di usia segitu, pemikirannya sangat berbeda dengan teman teman di sekitarnya. Dalam usianya yang masih sangat muda itu, dia sudah menunjukkan kegigighannya dalam mempertahankan pendapatnya. Mungkin, bila Gie hidup pada tahun tahun belakangan ini, dia berhak bergelar anak indigo (sebuah fenomena pseudoscience yang begitu ambigu) dan membuat orang tuanya bangga akan sebutan itu.


Pada bagian bagian ini aku juga sempat bertanya tanya, apa sebenarnya rahasia Tuhan sehingga memanggil sosok seperti Gie dalam usia yang masih sangat muda, 27 tahun. Apakah Tuhan beranggapan ini adalah cara dan jalan yang terbaik? Mungkin yang terbaik bukan cuma buat Gie secara pribadi saja, tapi untuk seluruh bangsa ini. Mungkin Tuhan tidak ingin suatu saat akan ada hambanya yang menghujatnya karena membiarkan Gie hidup lama. Maka itu juga mungkin, Tuhan telah mengizinkan catatan harian Gie untuk dibaca begitu banyak orang, begitu di cari cari, hanya untuk memberikan alasan kepada kita mengapa Tuhan memanggilnya cepat cepat. Dia, seorang yang terlalu berpotensi untuk menumbuhkan pro dan kontra, tapi mungkin, sekali lagi mungkin bukan pemberi solusi yang baik. Semua tentang Gie sampai detik ini adalah kemungkinan dalam otakku. Bukan hanya satu kemungkinan, tapi begitu banyak kemungkinan.

Sebenarnya buku yang ada padaku saat ini adalah milik seorang teman yang merelakan aku bawa bukunya ke kontrakan. Begitu inginnya aku untuk memiliki buku ini  sampai sampai tadi siang aku keluyuran di Kampung Ilmu jalan Semarang untuk memburu buku ini. Tapi hasilnya nihil. Jawaban paling mendekati yang aku dapat dari pemilik lapak disana adalah “itu memang buku yang di cari cari mas, banyak yang cari, tapi stok kosong.” Oh ya sudahlah, aku berlalu dari sana tanpa mendapatkan buku yang aku inginkan. Sebagai gantinya, aku membawa pulang dua buku karya A. Fuadi : Negeri 5 Menara dan Ranah 3 Warna. Lumayan. Ya, walau tidak serta merta menghapus rasa inginku untuk memiliki buku Catatan Seorang Demonstran. Aku tetap ingin punya, satu saja. Jadi kalau ada walkers yang ingin membantuku untuk mendapatkan buku yang satu ini, aku akan berterimakasih sekali. Apa lagi kalau aku di kasi gratisan… <smile>



Walkers,

Semalam di tengah asik membaca buku Soe Hok Gie, sebuah pesan pendek masuk di hapeku. Dari Rizal. Dia ada di Ampel dan menanyakan apakah aku bisa menemaninya di sana. Tentu saja aku jawab aku bisa dan akan segera meluncur ke sana.

Ampel memang salah satu tempat favoritku. Salah satu tempat yang bisa membuatku tenang dan banyak berfikir, juga tempatku  bertemu dengan begitu banyak macam manusia. Di sana, aku bisa duduk berjam jam untuk merenung, berfikir dengan caraku sendiri. Membiarkan segala imaji yang ada dalam otakku ini untuk mencari jalannya sendiri. Di Ampel, segala imaji itu seraca lancar keluar, berkutat dan mencari jalannya sendiri pada semua simpulan simpulan yang aku buat sendiri.

Otakku ini seperti otak yang tak pernah tidur, otak yang selalu berputar dan berbicara pada dirinya sendiri setiap saat. Setiap apa yang aku lihat, bisa menjadi suatu bahan untuk aku pikirkan, menjadi sebuah bahan untuk wacana yang entah kepada siapa aku bisa membicarakannya. Aku ingin punya teman untuk berbagi, tentang jalan pikiran yang kusut ini, tentang segala yang aku rasakan dan segala yang aku lihat, apa yang manjadi kontroversi dalam otakku dan segala pendapat pendapat pribadiku. Tapi kepada siapa? Aku tak tahu.




READ MORE - RJK 2012 06 08, Jum'at : Berburu Gie