Rabu, 06 Juni 2012

RJK 2012 06 06





Hari ini aku membaca buku Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demontran, pada bagian akhir akhir masa sekolahnya di SMP sampai masa masa awal remajanya. Sekitar tahun 1960 (dia lahir tahun 1942). Kesan awal tentang sosok Gie yang kesepian seperti  penggambaran orang selama ini atas dirinya aku ragukan. Benarkah dia merasa begitu kesepian dalam awal awal kehidupannya? Aku rasa juga tidak. Dia punya banyak teman, walau dia sendiri adalah orang yang vokal dalam hal hal tertentu. Aku membaca catatanya tentang perdebatannya dengan guru sastranya di sekolah yang berujung pada pengusirannya dari kelas. Tapi dia tidak keluar.


Hal lain yang baru aku tahu tentang dia, adalah bahwa dia adalah tipikal orang yang tidak percaya adanya tuhan, adanya doa. Tapi dalam beberapa bagian dari catatanya, aku rasa pendapat dan keyakinannya ini begitu ambigu. Tipikal persis pemuda di usia segitu. Ini bisa aku lihat dari catatannya tentang pertemuannya dengan seorang pemuda kriten yang tenang dengan kerejiusannya yang secara langsung di ikuti dengan penghujatannya pada pastur pastur. Dia mengecam mereka sebagai kelas baru kaum borjuis yang hidup bermewah mewahan dan memonopoli kebenaran. Benar benar tipikal seorang yang radikal dan pemberontak.

Aku yakin tipe orang seperti Gie banyak di negeri ini. Apa lagi mereka yang sedang dalam usia segitu, usia remaja yang masih sangat labil dengan gejolak yang melonjak lonjak. Bukan hanya dari mereka yang menganut agama Kristen atau Protestan seperti Gie, bahkan mereka yang mengaku muslimpun bisa saja mempunyai jalan pikiran yang sama dengannya. Aku juga punya teman muslim yang mengumpati adzan dan asik ber-sms ria saat mendengarkan khutbah jum’at. Merekakah para atheis yang tidak percaya pada Tuhan? Tapi toh mereka juga masih juga melakukan segala hal yang diajarkan agama mereka. Yang Kristen dan Protestan masih juga ke Gereja setiap minggu, yang muslim juga masih saja solat dan pergi ke Masjid. Tapi hati mereka tidak yakin, bahkan berusaha berdalil mengubah apa yang Tuhan ajarkan pada mereka. Entahlah. Untuk yang satu ini, andai dia ada, aku ingin bertukar pikiran habis habisan dengan Gie. “Gie, Tuhan itu ada bukan? Kamu sendiri sekarang sudah membuktikannya sendiri disana bukan? Beri tahu aku.”

Hal aneh lain tentang sosok yang satu ini adalah ketidak percayaanya pada cinta yang suci. Dia berpendapat, bahkan sejak masih duduk di bangku SMP, kalau pernikahan itu cuma atas nafsu belaka. “… sebab kalau aku kawin aku tak tega menyetubuhinya, paling banyak aku mencium. … dia tidak mungkin mengadakan hubunga kelamin sebab baginya “ubermensh”-nya suci dan mau dikotori. Aku yakin inilah cinta sejati. … Kalau aku jatuh cinta, aku tidak akan mengawininya” (Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran, halaman 72) tulisnya dalam buku hariannya yang juga diikuti dengan kutipan langsung dari seorang temannya. Entah mengapa aku melihat di sinilah bekerja untuk dia pengaruh pengaruh dari keagamaan, dimana pastor pastor tidak menikah, padahal Gie sendiri adalah seorang yang tidak percaya adanya Tuhan.

Gie juga menghujat orang yang kebanyakan oleh orang lain di puja puji. Seperti Soekarno misalnya, orang yang menjadi tokoh utama dalam kemerdekaan negeri ini, bahkan dianggapnya sebagai penghianat kemerdekaan dan tujuan kemerdekaan itu sendiri. Bisa kita lihat dalam catatan catatan hariannya yang bertahun 1959 – 1960. Ditulisnya disana “ ya, dua kilometer dari pemakan kulit “paduka” kita mungkin lagi tertawa tawa, makan makan dengan istri isitrinya yang cantik. Dan kalau melihat gejala pemakan kulit itu, alangkah bangga hatiku. “Kita, generasi kita, ditugaskan untuk memberantas generasi tua yang pengacau … “”. Dia juga menulis tentang penolakan presiden Soekarno atas permintaan ampunan dari seorang yang di fonis hukuman mati. “Lihatlah Gandhi, pembunuhnya dimaafkan. Aku kita moral Presiden Soekarno itu tidak lebih dari moral tukang becak.” Tulisnya di catatan hariannya yang bertangal 12 Juni 1960.

Kita mungkin terperangah dengan apa yang di tuliskan oleh Gie. Tapi bagiku itu adalah hal yang normal. Mengingat gejolak masa mudanya, mengingat radikalnya dia, itu lumrah. Dimana kekuasaan, disana juga pasti ada pertentangan dan ketidakpuasan atas kekuasaan itu. Sejarah adalah menurut siapa yang menyampaikan, begitu juga dengan seseorang, tergantung siapa yang menggambarkan tentang dia. Bagi kita mungkin Soekarno adalah pahlawan dan bapak bangsa, tapi bagi Gie, dia adalah penghianat. Bagi bangsa kita orang seperti Deandles adalah musuh dan penjajah yang harus di berantas, tapi bagi bangsanya, mungkin dia adalah orang yang berjasa besar. 

Gie juga menuis tentang guru gurunya, tentang pemotongan nilainya –entah karena apa- juga tentang perdebatannya tentang sastra yang berjung pada kalimat “Guru model gituan. Yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan dewa dan selalu benar. Dan murid bukan kerbau” (Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran halaman 65).

Masih tebal buku yang harus aku baca. Masih ratusan halaman lagi. Tapi aku suka untuk membacanya. Aku suka membaca buah pemikiran orang lain. Bagiku, itu adalah jalan terbaik untuk mengenali banyaknya jalan pemikiran orang dan keberagaman ciptaan yang Maha Kuasa. Suatu hari, aku yakin harus membaca catatan dari Anne Frank.

2 komentar:

  1. yap.. rasanya lebih enak membaca dari pada melihat filmnya.. :)

    BalasHapus

.
..
Buktikan kunjungan kamu ke blog ini dengan meninggalkan komentar sebagai jejak kunjungan.
..
.