Hari ini aku
membaca buku Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demontran, pada bagian akhir akhir
masa sekolahnya di SMP sampai masa masa awal remajanya. Sekitar tahun 1960 (dia
lahir tahun 1942). Kesan awal tentang sosok Gie yang kesepian seperti penggambaran orang selama ini atas dirinya
aku ragukan. Benarkah dia merasa begitu kesepian dalam awal awal kehidupannya? Aku
rasa juga tidak. Dia punya banyak teman, walau dia sendiri adalah orang yang
vokal dalam hal hal tertentu. Aku membaca catatanya tentang perdebatannya
dengan guru sastranya di sekolah yang berujung pada pengusirannya dari kelas. Tapi
dia tidak keluar.
Hal lain yang
baru aku tahu tentang dia, adalah bahwa dia adalah tipikal orang yang tidak
percaya adanya tuhan, adanya doa. Tapi dalam beberapa bagian dari catatanya,
aku rasa pendapat dan keyakinannya ini begitu ambigu. Tipikal persis pemuda di
usia segitu. Ini bisa aku lihat dari catatannya tentang pertemuannya dengan
seorang pemuda kriten yang tenang dengan kerejiusannya yang secara langsung di
ikuti dengan penghujatannya pada pastur pastur. Dia mengecam mereka sebagai
kelas baru kaum borjuis yang hidup bermewah mewahan dan memonopoli kebenaran. Benar
benar tipikal seorang yang radikal dan pemberontak.
Aku yakin tipe
orang seperti Gie banyak di negeri ini. Apa lagi mereka yang sedang dalam usia
segitu, usia remaja yang masih sangat labil dengan gejolak yang melonjak
lonjak. Bukan hanya dari mereka yang menganut agama Kristen atau Protestan
seperti Gie, bahkan mereka yang mengaku muslimpun bisa saja mempunyai jalan
pikiran yang sama dengannya. Aku juga punya teman muslim yang mengumpati adzan
dan asik ber-sms ria saat mendengarkan khutbah jum’at. Merekakah para atheis
yang tidak percaya pada Tuhan? Tapi toh mereka juga masih juga melakukan segala
hal yang diajarkan agama mereka. Yang Kristen dan Protestan masih juga ke
Gereja setiap minggu, yang muslim juga masih saja solat dan pergi ke Masjid. Tapi
hati mereka tidak yakin, bahkan berusaha berdalil mengubah apa yang Tuhan
ajarkan pada mereka. Entahlah. Untuk yang satu ini, andai dia ada, aku ingin
bertukar pikiran habis habisan dengan Gie. “Gie, Tuhan itu ada bukan? Kamu sendiri
sekarang sudah membuktikannya sendiri disana bukan? Beri tahu aku.”
Hal aneh lain
tentang sosok yang satu ini adalah ketidak percayaanya pada cinta yang suci. Dia
berpendapat, bahkan sejak masih duduk di bangku SMP, kalau pernikahan itu cuma
atas nafsu belaka. “… sebab kalau aku kawin aku tak tega menyetubuhinya, paling
banyak aku mencium. … dia tidak mungkin mengadakan hubunga kelamin sebab baginya
“ubermensh”-nya suci dan mau dikotori. Aku yakin inilah cinta sejati. … Kalau
aku jatuh cinta, aku tidak akan mengawininya” (Soe Hok Gie, Catatan Seorang
Demonstran, halaman 72) tulisnya dalam buku hariannya yang juga diikuti dengan
kutipan langsung dari seorang temannya. Entah mengapa aku melihat di sinilah
bekerja untuk dia pengaruh pengaruh dari keagamaan, dimana pastor pastor tidak
menikah, padahal Gie sendiri adalah seorang yang tidak percaya adanya Tuhan.
Gie juga
menghujat orang yang kebanyakan oleh orang lain di puja puji. Seperti Soekarno
misalnya, orang yang menjadi tokoh utama dalam kemerdekaan negeri ini, bahkan
dianggapnya sebagai penghianat kemerdekaan dan tujuan kemerdekaan itu sendiri. Bisa
kita lihat dalam catatan catatan hariannya yang bertahun 1959 – 1960. Ditulisnya
disana “ ya, dua kilometer dari pemakan kulit “paduka” kita mungkin lagi
tertawa tawa, makan makan dengan istri isitrinya yang cantik. Dan kalau melihat
gejala pemakan kulit itu, alangkah bangga hatiku. “Kita, generasi kita,
ditugaskan untuk memberantas generasi tua yang pengacau … “”. Dia juga menulis
tentang penolakan presiden Soekarno atas permintaan ampunan dari seorang yang
di fonis hukuman mati. “Lihatlah Gandhi, pembunuhnya dimaafkan. Aku kita moral
Presiden Soekarno itu tidak lebih dari moral tukang becak.” Tulisnya di catatan
hariannya yang bertangal 12 Juni 1960.
Kita mungkin
terperangah dengan apa yang di tuliskan oleh Gie. Tapi bagiku itu adalah hal
yang normal. Mengingat gejolak masa mudanya, mengingat radikalnya dia, itu
lumrah. Dimana kekuasaan, disana juga pasti ada pertentangan dan ketidakpuasan
atas kekuasaan itu. Sejarah adalah menurut siapa yang menyampaikan, begitu juga
dengan seseorang, tergantung siapa yang menggambarkan tentang dia. Bagi kita
mungkin Soekarno adalah pahlawan dan bapak bangsa, tapi bagi Gie, dia adalah
penghianat. Bagi bangsa kita orang seperti Deandles adalah musuh dan penjajah
yang harus di berantas, tapi bagi bangsanya, mungkin dia adalah orang yang
berjasa besar.
Gie juga menuis
tentang guru gurunya, tentang pemotongan nilainya –entah karena apa- juga
tentang perdebatannya tentang sastra yang berjung pada kalimat “Guru model
gituan. Yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan dewa dan
selalu benar. Dan murid bukan kerbau” (Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran
halaman 65).
Masih tebal
buku yang harus aku baca. Masih ratusan halaman lagi. Tapi aku suka untuk
membacanya. Aku suka membaca buah pemikiran orang lain. Bagiku, itu adalah
jalan terbaik untuk mengenali banyaknya jalan pemikiran orang dan keberagaman
ciptaan yang Maha Kuasa. Suatu hari, aku yakin harus membaca catatan dari Anne
Frank.
yap.. rasanya lebih enak membaca dari pada melihat filmnya.. :)
BalasHapusaku belum pernah nonton filmnya... :)
Hapus