Kamis, 24 Oktober 2013

I-1 : Hari Pertama Aku Dipandang Sebelah Mata



“Mereka merebahkanku di UKS itu sewaktu aku sudah bisa mengendalikan tubuhku lagi. Aku capek, Rid, capek sekali. Seperti aku sudah berlari beberapa kilo pagi itu.
Ah…, sudahlah. Kadang berat harus mengenang semua lagi dari awal. Bisakah kita berhenti?”

“Berhenti? “ tanyaku. “ Setelah sejauh ini?”

i-1 memandangku dalam-dalam, seolah mencari titik keseriusan dalam diriku. Kesunyian turun, mengisi ruang diantara kami. Desahan nafas kami tedengar jelas di udara yang kering, sementara senja mulai turun di kaki cakrawala.

“Kalau begitu aku akan menuliskannya sendiri.” Ujarnya. Tiba tiba dan spontan. Sekarang aku yang memandang kedalam matanya yang cekung. “Aku serius!” katanya lagi. “Kamu boleh mengeditnya dulu sebelum kamu posting di blogmu.”

Ada binar senang yang aku rasakan. Harapan untuk bisa berkisah tentang dia sampai tuntas sepertinya menemukan titik terangnya.

***

gambar dari sini


Namaku sebenarnya bukan nama yang tertulis di sini. Tapi si pemilik blog ini, teman baikku, memberiku nama itu. I-1, dibaca aiwan, bukan I satu. Nama itu dekat dengan namaku yang sebenarnya. Nama yang aku dapat ketika dia memaksa untuk menulis kisahku ini.

Semalam tadi aku sudah berusaha sebenarnya untuk menulis sebaik mungkin apa yang aku alami, tapi sepertinya aku memang bukan orang yang ahli dalam bidang ini. Maka itu hari ini aku datang pada pemilik blog ini, berbicara padanya dan memintanya mengetikkan semua kata yang aku ucapkan. Dia lebih tahu pastinya apa yang harus dia tuliskan. Oleh karena itu, sejak posting ini, aku menggunakan kata ‘aku’ untuk mendiskripsikan diriku sendiri.

Walkers, siang itu aku tak dibiarkan sendiri merenung di ruang UKS. Ada seorang guru yang menemaniku. Pak guru ini, mengajar bahasa Indonesia. Kalau kamu pernah duduk di bangku sekolah, pastinya kamu tahu, kalau guru yang belum sepenuhnya kita kenal, kita akan memanggilnya bukan dengan namanya yang sebenarnya, tapi dengan nama mata pelajaran yang dia ajarkan. Maka itu, walkers, kita sebut saja guru ini dengan bapak bahasa Indonesia, atau pak bahasa kelas tiga, karena dia mengajar bahasa Indonesia untuk kelas tiga.

Pak bahasa kelas tiga itu menemaniku berbincang bincang. Cukup lama. Dia berspekulasi tentang apa yang baru saja aku alami. Menurut beliau, yang sedikit banyak tahu tentang dunia supranatural, apa yang aku alami baru saja itu cukup aneh. Beliau ingin mendiskripsikan ini sebagai kesurupan, tapi janggalnya, mengapa aku bisa pulih dengan cepat tanpa bantuan siapapun, tanpa diusir dia yang bersemayam dalam badanku. Dalam kasus kesurupan, seharusnya mereka yang menempati diri kita, tidak akan pergi tanpa dipaksa untuk berehenti.

Kalau ini tidak didefinisikan sebagai kesurupan, lalu apa? Sepertinya tidak ada penjelasan logis yang bisa menjelaskan apa yang baru saja terjadi. Pembicaraan kami berakhir saat bel tanda pergantian pelajaran berdentang. Pak bahasa kelas tiga mengizinkan aku untuk kembali ke dalam kelas.

Setelahnya aku mengikuti pelajaran sebagaimana biasanya. Tak ada yang berubah. Semua berjalan seolah hari itu tak pernah terjadi apapun. Hanya dalam pikiranku, aku belum bisa mencerna apa yang terjadi pagi itu.

Walau begitu, kabar sudah terlanjur menyebar. Kabar tentang aku yang kesurupan waktu itu sudah merebak ke seluruh siswa di sekolah. Mereka yang bertemu denganku di lorong-lorong sekolah memandangku dengan pandangan yang aneh. Beberapa malah menghindar, seolah apa yang aku alami tadi adalah penyakit yang bisa menular memalui udara. Aku belum bisa menerima keadaan yang berubah drastis itu. Ada penolakan yang terjadi dalam diriku. Aku merasa sakit hati diperlakukan begitu, sebuah perasaan protes yang tersirat pelan, tapi pada entah siapa aku bisa mengungkapkannya.

Siang saat aku sedang menunggu Rai, teman yang selalu memberi tumpangan padaku saat pulang sekolah, pikiranku masih belum juga bebas dari apa yang terjadi pagi itu. Dari apa yang terjadi sepanjang pagi sampai siang itu. Rasa sakit dan belum bisa menerima keadaan ini masih saja menggantung di dadaku. Perlahan ada marah yang tersulut. Semacam api yang tumbuh dengan perlahan, hangat dan siap membakar.

Siang itu aku memanjatkan doa dalam dudukku dengan sepenuh hati tanpa ada yang tahu, kecuali aku dan Dia Yang Maha Tahu. Dalam hati yang terdalam, aku berseru,


“Tuhan, aku tak mau ini terjadi hanya pada diriku sendiri, semua ini tak adil,
Aku mau yang lain juga merasakan apa yang aku rasakan,
Agar mereka tak lagi memandangku sebelah mata.”


Tak disangka, satu bulan kemudian, doaku terkabul. Saat itu, bukan hanya aku, seisi sekolahpun menjerit histeris!


Bersambung-à








13 komentar:

  1. Waaahhh... l-1, do'anya serem ih...
    Memandang sebelah mata gimana sih maksudnya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. dipandang sebelah mata bund,
      I-1 dipandang seperti orang yang 'berbahaya' dan harus dijauhi....
      kasihan..

      Hapus
  2. beuhh..bener kata mbak niken..seyyem doanya..
    fenomena "kesurupan massal" ini ceritanya...
    tapi kalo ada hari pertama, ada hari ke dua, ke tiga dstnya dong?

    BalasHapus
    Balasan
    1. akan ada kang,
      bukan cuma kisah satu dua hari,
      ini kisah sepuluh tahun lamanya....

      Hapus
    2. berarti ada stock postinga buat 10 tahun ke depan #abaikan :D

      Hapus
    3. begtitulah kira krira mas... :)

      Hapus
  3. kunjungan perdana mas
    jadi tidak tau mau komentar apa dulu
    hehehe
    idzin follow mas blog-nya
    dtunggu follow back

    BalasHapus
  4. I-1... jangan berdo'a yang begitu........................... mendingn berdo'a yang baik.. huhu

    BalasHapus

.
..
Buktikan kunjungan kamu ke blog ini dengan meninggalkan komentar sebagai jejak kunjungan.
..
.