Minggu, 10 Juni 2012

RJK 2012 06 10, Minggu : Seorang Kakek Tua di Jum'at Malam dan Orang Orang Hebat di Minggu Siang.

Gambar diambil dari sini


Jum’at malam kemarin, saat berhenti di lampu merah di depan hotel Sahid, aku melihat seorang kakek sedang menjajakan koran. Kutaksir usianya tidak kurang dari 70 tahun, rambutnya sudah memutih semua, tubuhnya kurus ringkih dan berjalan dengan tertatih. Padahal saat itu sudah lebih dari pukul sembilan malam. Hatiku serasa perih melihat itu. Sebuah ironi dan gambaran jelas sebuah ketimpangan sosial dan mungkin juga matinya toleransi di kota besar seperti Surabaya ini. Kita semua pasti tahu daerah di sekitar sana. Sebuah persimpangan jalan besar yang di kelilingi dan berdekatan dengan tempat tempat dimana kemewahan di manjakan. Hotel Sahid, stasiun Gubeng, Grand City Mall, Surabaya Plasa (delta), WTC, Monkasel dan sederet perkantoran kelas atas berjarak tidak lebih dari lima ratus meter dari sana. Tapi mengapa masih ada seorang tua yang berjalan dengan tumpukan koran di jalanan di malam yang sudah hampir larut juga di tempat seperti itu? Mengapa juga anak anak jalanan masih saja setiap hari kita lihat ada di sana? Padahal, gedung pemerintahan tidak sampai satu kilometer jaraknya. Mobil mobil mewah juga bukan hanya satu dua yang lewat disana. Tapi ratusan setiap harinya. Dimana nurani? Aku ingin bertanya. Dimana kebijaksanaan pemerintah? Aku ingin menangih. Tapi pada siapa? Jujur, aku tak tahu.

UUD pasal 34 ayat (1) maka akan berbunyi “Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh NEGARA.” Apakah ini berarti bahwa kemiskinan dan kefakiran itu sendiri yang dipelihara oleh negara agar tetap ada? Bukan malah untuk di entaskan? Maka mungkin benar apa yang dituliskan Soe Hok Gie dalam catatan hariannya. “Ya, dua kilometer dari pemakan kulit “paduka” kita mungkin lagi tertawa-tawa, makan makan dengan istri-istrinya yang cantik.”  (Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran kamis, 10 Desember 1969, halaman 69). Sebuah ironi, walkers, kalau boleh aku bilang. Dan bagaimanapun aku sadar, aku adalah bagian dari ironi itu. Aku melihat, aku merasakan adanya ketidakberesan, tapi aku tidak (bisa) berbuat apa apa. Bukankah membiarkan kesalahan itu berarti mendukung kesalahan itu sendiri? Kalau aku ingin mengutuk orang orang di sekelilingku, maka pasti kutukan itu berlaku pula buatku.

Melihat kondisi seperti itu, disisi lain aku jadi bertanya tanya. Mungkinkah aku akan seperti dia suatu saat nanti (aku berdoa dengan sangat untuk tidak pernah menjadi seperti itu, tapi tetap, sepenuhnya aku sadar, segala kemungkinan itu ada, bahkan yang terburuk sekalipun). Apakah di masa tuaku aku akan bernasib sama seperti kakek tua itu? Hidup (mungkin) sebatang kara, tanpa seorangpun yang mau perduli akan nasibnya. Di usia senja yang seharusnya seorang sudah duduk manis menikmati hasil jerih payahnya di masa muda, masih saja harus berjuang untuk bisa makan malam itu. Aku selalu berdoa kepada Tuhan untuk menolak garis takdir semacam itu. Tapi ketika Tuhan berkehendak untuk menguji hambanya, siapa tahu? Setidaknya sekarang aku ingin menolong, walau dengan sekeping limaratus rupiah yang ada di saku celanaku. Agar mungkin nanti saat aku butuh, Tuhan akan mengembalikan limaratus rupiahku itu dalam bentuk yang lain.

Walkers,

Belum lagi jauh dari sana, di perempatan sebelum THR, lagi lagi aku berjumpa dengan pedagang koran yang menjajakan sisa koran tadi pagi. Tapi kali ini adalah seorang anak perempuan yang belum juga genap enam tahun usianya. Dia mendekat kearahku, mulanya aku kira dia akan menawarkan koran yang dia bawa, tapi yang kemudian keluar dari mulutnya adalah “pak…, saya belum makan dari pagi pak, minta pak…”

 Ironis!

***



Minggu siang adalah cerita lain yang ingin aku bagikan dengan kalian, walkers. Minggu siang aku bertemu dengan orang orang hebat dalam sebuah acara kopdar yang diadakan di Kebun Bibit Bratang. Mereka adalah anggota grup penulis “Bonektim” (BONdo cEndol EKsklusif jawa TIMur). Di sana hadir bunda Titie Surya (penulis, pemilik penerbitan Prima Pustaka Publishing, ketua Bonektim dan koordinator acara), mbak Wahyu (penulis), Jacob Julian (penulis novel Pocong Galau dan Hitech, penulis cerpen di beberapa majalan dan buku antologi) Axia Paramitha (monologer), Citra (penulis puisi dan cerpen), Zahara Putri (penulis enam belas antologi cerpen) ibu Evi Suryati (penulis, penggemar buku, dan pegawai perpustakaan daerah Surabaya), pak Kartono (pengurus TBM Kawan Kami) dan sejumlah nama lainnya yang sudah memililiki karya. Di sana mereka sedang membicarakan peluncuran buku mereka yang selanjutnya. Sebuah buku yang bernuansa cinta dan berseting di Surabaya.

Berada di tengah tengah mereka, aku bagaikan burung gagak di tengah kerumunan burung merak. Bukan apa apa, bukan siapa siapa, tiada indah. Kalau di tanya apa alasan aku berada di tengah tengah mereka saat itu, jawabannya adalah karena aku yakin kata pepatah “seorang yang berkumpul dengan penjual minyak, pasti akan kecipratan harumnya juga” adalah benar. Seorang yang baik, yang benar dan yang indah, pasti suatu saat akan menyebarkan keindahan itu pada lingkungan sekitarnya. Mereka adalah insprasiku untuk terus berkaya dan terus belajar. Semoga suatu saat, aku akan bisa menjadi merak seperti mereka, merak merak yang indah dan berbagi keindahan.
READ MORE - RJK 2012 06 10, Minggu : Seorang Kakek Tua di Jum'at Malam dan Orang Orang Hebat di Minggu Siang.

Jumat, 08 Juni 2012

RJK 2012 06 08, Jum'at : Berburu Gie

Halo walkers,






Sejak semalam sampai hari ini aku melanjutkan membaca buku Catatan Seorang Demonstran, membaca jejak kehidupan seorang Soe Hok Gie. Pada masa sekitar tahun 1962, saat dia berumur 20 tahun, dia sudah menjadi orang yang berbeda dari pemuda pemuda sebayanya. Di usia segitu, pemikirannya sangat berbeda dengan teman teman di sekitarnya. Dalam usianya yang masih sangat muda itu, dia sudah menunjukkan kegigighannya dalam mempertahankan pendapatnya. Mungkin, bila Gie hidup pada tahun tahun belakangan ini, dia berhak bergelar anak indigo (sebuah fenomena pseudoscience yang begitu ambigu) dan membuat orang tuanya bangga akan sebutan itu.


Pada bagian bagian ini aku juga sempat bertanya tanya, apa sebenarnya rahasia Tuhan sehingga memanggil sosok seperti Gie dalam usia yang masih sangat muda, 27 tahun. Apakah Tuhan beranggapan ini adalah cara dan jalan yang terbaik? Mungkin yang terbaik bukan cuma buat Gie secara pribadi saja, tapi untuk seluruh bangsa ini. Mungkin Tuhan tidak ingin suatu saat akan ada hambanya yang menghujatnya karena membiarkan Gie hidup lama. Maka itu juga mungkin, Tuhan telah mengizinkan catatan harian Gie untuk dibaca begitu banyak orang, begitu di cari cari, hanya untuk memberikan alasan kepada kita mengapa Tuhan memanggilnya cepat cepat. Dia, seorang yang terlalu berpotensi untuk menumbuhkan pro dan kontra, tapi mungkin, sekali lagi mungkin bukan pemberi solusi yang baik. Semua tentang Gie sampai detik ini adalah kemungkinan dalam otakku. Bukan hanya satu kemungkinan, tapi begitu banyak kemungkinan.

Sebenarnya buku yang ada padaku saat ini adalah milik seorang teman yang merelakan aku bawa bukunya ke kontrakan. Begitu inginnya aku untuk memiliki buku ini  sampai sampai tadi siang aku keluyuran di Kampung Ilmu jalan Semarang untuk memburu buku ini. Tapi hasilnya nihil. Jawaban paling mendekati yang aku dapat dari pemilik lapak disana adalah “itu memang buku yang di cari cari mas, banyak yang cari, tapi stok kosong.” Oh ya sudahlah, aku berlalu dari sana tanpa mendapatkan buku yang aku inginkan. Sebagai gantinya, aku membawa pulang dua buku karya A. Fuadi : Negeri 5 Menara dan Ranah 3 Warna. Lumayan. Ya, walau tidak serta merta menghapus rasa inginku untuk memiliki buku Catatan Seorang Demonstran. Aku tetap ingin punya, satu saja. Jadi kalau ada walkers yang ingin membantuku untuk mendapatkan buku yang satu ini, aku akan berterimakasih sekali. Apa lagi kalau aku di kasi gratisan… <smile>



Walkers,

Semalam di tengah asik membaca buku Soe Hok Gie, sebuah pesan pendek masuk di hapeku. Dari Rizal. Dia ada di Ampel dan menanyakan apakah aku bisa menemaninya di sana. Tentu saja aku jawab aku bisa dan akan segera meluncur ke sana.

Ampel memang salah satu tempat favoritku. Salah satu tempat yang bisa membuatku tenang dan banyak berfikir, juga tempatku  bertemu dengan begitu banyak macam manusia. Di sana, aku bisa duduk berjam jam untuk merenung, berfikir dengan caraku sendiri. Membiarkan segala imaji yang ada dalam otakku ini untuk mencari jalannya sendiri. Di Ampel, segala imaji itu seraca lancar keluar, berkutat dan mencari jalannya sendiri pada semua simpulan simpulan yang aku buat sendiri.

Otakku ini seperti otak yang tak pernah tidur, otak yang selalu berputar dan berbicara pada dirinya sendiri setiap saat. Setiap apa yang aku lihat, bisa menjadi suatu bahan untuk aku pikirkan, menjadi sebuah bahan untuk wacana yang entah kepada siapa aku bisa membicarakannya. Aku ingin punya teman untuk berbagi, tentang jalan pikiran yang kusut ini, tentang segala yang aku rasakan dan segala yang aku lihat, apa yang manjadi kontroversi dalam otakku dan segala pendapat pendapat pribadiku. Tapi kepada siapa? Aku tak tahu.




READ MORE - RJK 2012 06 08, Jum'at : Berburu Gie

Rabu, 06 Juni 2012

RJK 2012 06 06





Hari ini aku membaca buku Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demontran, pada bagian akhir akhir masa sekolahnya di SMP sampai masa masa awal remajanya. Sekitar tahun 1960 (dia lahir tahun 1942). Kesan awal tentang sosok Gie yang kesepian seperti  penggambaran orang selama ini atas dirinya aku ragukan. Benarkah dia merasa begitu kesepian dalam awal awal kehidupannya? Aku rasa juga tidak. Dia punya banyak teman, walau dia sendiri adalah orang yang vokal dalam hal hal tertentu. Aku membaca catatanya tentang perdebatannya dengan guru sastranya di sekolah yang berujung pada pengusirannya dari kelas. Tapi dia tidak keluar.


Hal lain yang baru aku tahu tentang dia, adalah bahwa dia adalah tipikal orang yang tidak percaya adanya tuhan, adanya doa. Tapi dalam beberapa bagian dari catatanya, aku rasa pendapat dan keyakinannya ini begitu ambigu. Tipikal persis pemuda di usia segitu. Ini bisa aku lihat dari catatannya tentang pertemuannya dengan seorang pemuda kriten yang tenang dengan kerejiusannya yang secara langsung di ikuti dengan penghujatannya pada pastur pastur. Dia mengecam mereka sebagai kelas baru kaum borjuis yang hidup bermewah mewahan dan memonopoli kebenaran. Benar benar tipikal seorang yang radikal dan pemberontak.

Aku yakin tipe orang seperti Gie banyak di negeri ini. Apa lagi mereka yang sedang dalam usia segitu, usia remaja yang masih sangat labil dengan gejolak yang melonjak lonjak. Bukan hanya dari mereka yang menganut agama Kristen atau Protestan seperti Gie, bahkan mereka yang mengaku muslimpun bisa saja mempunyai jalan pikiran yang sama dengannya. Aku juga punya teman muslim yang mengumpati adzan dan asik ber-sms ria saat mendengarkan khutbah jum’at. Merekakah para atheis yang tidak percaya pada Tuhan? Tapi toh mereka juga masih juga melakukan segala hal yang diajarkan agama mereka. Yang Kristen dan Protestan masih juga ke Gereja setiap minggu, yang muslim juga masih saja solat dan pergi ke Masjid. Tapi hati mereka tidak yakin, bahkan berusaha berdalil mengubah apa yang Tuhan ajarkan pada mereka. Entahlah. Untuk yang satu ini, andai dia ada, aku ingin bertukar pikiran habis habisan dengan Gie. “Gie, Tuhan itu ada bukan? Kamu sendiri sekarang sudah membuktikannya sendiri disana bukan? Beri tahu aku.”

Hal aneh lain tentang sosok yang satu ini adalah ketidak percayaanya pada cinta yang suci. Dia berpendapat, bahkan sejak masih duduk di bangku SMP, kalau pernikahan itu cuma atas nafsu belaka. “… sebab kalau aku kawin aku tak tega menyetubuhinya, paling banyak aku mencium. … dia tidak mungkin mengadakan hubunga kelamin sebab baginya “ubermensh”-nya suci dan mau dikotori. Aku yakin inilah cinta sejati. … Kalau aku jatuh cinta, aku tidak akan mengawininya” (Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran, halaman 72) tulisnya dalam buku hariannya yang juga diikuti dengan kutipan langsung dari seorang temannya. Entah mengapa aku melihat di sinilah bekerja untuk dia pengaruh pengaruh dari keagamaan, dimana pastor pastor tidak menikah, padahal Gie sendiri adalah seorang yang tidak percaya adanya Tuhan.

Gie juga menghujat orang yang kebanyakan oleh orang lain di puja puji. Seperti Soekarno misalnya, orang yang menjadi tokoh utama dalam kemerdekaan negeri ini, bahkan dianggapnya sebagai penghianat kemerdekaan dan tujuan kemerdekaan itu sendiri. Bisa kita lihat dalam catatan catatan hariannya yang bertahun 1959 – 1960. Ditulisnya disana “ ya, dua kilometer dari pemakan kulit “paduka” kita mungkin lagi tertawa tawa, makan makan dengan istri isitrinya yang cantik. Dan kalau melihat gejala pemakan kulit itu, alangkah bangga hatiku. “Kita, generasi kita, ditugaskan untuk memberantas generasi tua yang pengacau … “”. Dia juga menulis tentang penolakan presiden Soekarno atas permintaan ampunan dari seorang yang di fonis hukuman mati. “Lihatlah Gandhi, pembunuhnya dimaafkan. Aku kita moral Presiden Soekarno itu tidak lebih dari moral tukang becak.” Tulisnya di catatan hariannya yang bertangal 12 Juni 1960.

Kita mungkin terperangah dengan apa yang di tuliskan oleh Gie. Tapi bagiku itu adalah hal yang normal. Mengingat gejolak masa mudanya, mengingat radikalnya dia, itu lumrah. Dimana kekuasaan, disana juga pasti ada pertentangan dan ketidakpuasan atas kekuasaan itu. Sejarah adalah menurut siapa yang menyampaikan, begitu juga dengan seseorang, tergantung siapa yang menggambarkan tentang dia. Bagi kita mungkin Soekarno adalah pahlawan dan bapak bangsa, tapi bagi Gie, dia adalah penghianat. Bagi bangsa kita orang seperti Deandles adalah musuh dan penjajah yang harus di berantas, tapi bagi bangsanya, mungkin dia adalah orang yang berjasa besar. 

Gie juga menuis tentang guru gurunya, tentang pemotongan nilainya –entah karena apa- juga tentang perdebatannya tentang sastra yang berjung pada kalimat “Guru model gituan. Yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan dewa dan selalu benar. Dan murid bukan kerbau” (Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran halaman 65).

Masih tebal buku yang harus aku baca. Masih ratusan halaman lagi. Tapi aku suka untuk membacanya. Aku suka membaca buah pemikiran orang lain. Bagiku, itu adalah jalan terbaik untuk mengenali banyaknya jalan pemikiran orang dan keberagaman ciptaan yang Maha Kuasa. Suatu hari, aku yakin harus membaca catatan dari Anne Frank.

READ MORE - RJK 2012 06 06

La-RanTa is Back


Hello walkers, bagaimana kabar kalian semua? Baik-baik saja? Sukurlah.

Sudah lama  sekali rasanya La-RanTa tidak pernah lagi update. Hal ini membuat beberapa orang pengunjung setia La-RanTa bertanya tanya, apa yang sebenarnya terjadi pada blog ini? Sebagian dari mereka bertanya, apakah La-RanTa benar-benar akan di tutup seperti kabar yang mereka tahu akhir-akhir ini? Memang tidak dapat di pungkiri, sejak awal kemunculannya beberapa waktu yang lalu, blog ini sudah memiliki pembaca setia yang selalu menantikan update terbaru dariku sebagai admin La-RanTa. Mereka itu adalah blogger-blogger yang sebagian besar tergabung dalam lingkaran persahabatan ungu para blogger yang di kenal dengan nama Bloof. bloofers, begitu biasanya para anggotanya disebut.

Sebenarnya, memang desas-desus yang selama ini beredar itu benar adanya. La-RanTa awalnya benar-benar akan ditutup. Apa alasannya? Alasannya sederhanan saja, yaitu karena awalnya kebanyakan isi dari blog ini hanyalan copas dari berbagai situs dan kumpulan tulisan tulisan dari blogger dan situs lain yang dianggap penting dan menarik untuk disebarluaskan kembali kepada pembaca setia La-RanTa. 

Sebagai blogger pemula saat itu, aku merasa hal itu wajar wajar saja dilakukan. Aku berkaca pada beberapa situs dan blog pribadi di internet yang melakukan hal yang sama. Tapi, semakin lama jam terbangku dalam dunia per-blog-an, semakin mengertilah aku tentang etika blogging yang benar. Salah satunya adalah tentang orsinalitas tulisan yang di posting di blog. Aku kemudian tahu kalau sebenarnya aktifitas salin-tempel itu adalah hal yang keliru. Seharusnya tulisan yang kita posting di blog pribadi kita  adalah tulisan asli dari pemilik blog yang bersangkutan.

Aku lama merenung saat kemudian tahu kalau apa yang dilakukan aku selama ini adalah hal yang tidak dianjurkan dan bahkan dilarang keras dalam dunia blogging. Coba sejenak kita berfikir, bagaimana kalau tulisan yang kita tulis tiba-tiba muncul di situs atau blog pribadi orang lain tanpa sepengetahuan kita? Pasti sakit hati rasanya. Apa lagi blog tersebut tidak mencantumkan kita sebagai penulisnya, dan bahkan mereka mengklaim tulisan itu adalah tulisan asli mereka. 

Hal lain yang aku cermati pula adalah bahwa setiap blog itu sebarusnya unik dan mempunyai karakternya sendiri. Lalu di mana letak keunikan itu kalau seluruh posting yang ada di dalam blog kita hanyalah hasil salin-tempel dari blog lain? Pastinya tidak ada. Tulisan dalam blog pribadi kita tidak akan lagi mencerminkan kita sebagai pemilik blog tersebut. Akan menjadi rancu dan bias adanya ketika gaya bahasa di satu posting jauh berbeda dengan gaya bahasa di posting selanjutnya, dan dari keseluruhan posting yang ada. 

Dua hal itulah yang mendasari aku untuk menutup blog ini. Tapi sekarang, La-RanTa is back, walkers! Dan kalian yang berkunjung ke blog ini mendapat gelar baru dariku selaku admin La-RanTa, ‘walker’.

Aku sebagai admin La-Ranta mengucapkan selamat kepada walkers yang sudah menunggu lama untuk setiap posting baru di blog ini. Mulai saat ini, aku sebagai admin La-RanTa berjanji untuk selalu meng-update blog ini dengan tulisan-tulisan hasil dari tulisanku sendiri.

Lalu apa yang akan disajikan La-RanTa kepada walkers kedepannya? 

Aku sebenarnya juga punya beberapa alasan mengapa blog ini di buka lagi setelah beberapa saat lalu sempat benar-benar di nonaktifkan. Yang pertama adalah karena aku tidak bisa mengikuti beberapa lomba berbasis blog yang diadakan oleh beberapa komunitas ataupun yang diadakan oleh beberapa orang secara pribadi. Memang benar aku memiliki blog lain yang berbasis tulisan tulisan fiksi, yaitu FiksiQ. Tapi karena sekali lagi sebuah blog itu seharusnya memiliki karakternya sendiri dan harus unik, maka tidak mungkin aku menerbitkan posting di FiksiQ yang isinya bukan fiksi atau cerpen. Maka itu aku tidak bisa berpartisipasi dalam lomba lomba yang mengharuskan pesertanya untuk menulis esay dan sejenisnya. Untuk tujuan itulah La-RanTa kembali dari tidur panjangnya.

Yang kedua adalah, karena aku ingin memiliki catatan harian online. Dan benar, aku ingin menjadikan La-RanTa ini sebagai blog catatan harian pribadiku. Semacam diary. Hal ini didasari oleh keinginanku untuk terus menulis setiap hari. Cerpen-cerpen fiksi yang aku buat jelas tidak bisa aku tulis setiap hari. Aku bukan orang yang selalu punya kesempatan untuk menulis fiksi. Tidak selalu ada ide yang bisa dituliskan. Menulis fiksi bagiku masih membutuhkan konsentrasi yang lebih. Sedangkan menulis catatan harian rasanya tidak membutuhkan energi sebesar menulis cerita cerita fiksi.

Yang ketiga adalah karena aku termotifasi oleh kang Insan yang baru-baru ini membuat blog baru yang isinya sama sekali berbeda dengan blog lamanya. Juga pak dhe Kholik, seorang blogger senior yang memiliki beberapa blog pribadi dengan isi yang berbeda-beda. Kepada kedua blogger sejati ini, aku mengucapkan terimakasih telah menginspirasiku.

Sekali lagi, La-RanTa is back, walkers. Don’t be sad. La-ranta kembali dengan wajah baru, kemasan baru, dan tentu saja tanpa posting-posting hasil salin-tempel yang dulu pernah bercokol di sini. Untuk kalian walkers sejati, selama mengikuti rekam jejak kehidupanku di sini.

Salam bloofers, salam blogging.



READ MORE - La-RanTa is Back

Selasa, 31 Mei 2011

Tembang Tembang Mi

Aku tau, cepat atau lambat, kabar tentang kematiannya pasti akan sampai juga di telingaku. Tapi aku tidak menyangka akan secepat ini. Tidak juga dalam waktu aku sendiri saja di rumah, benar benar sendiri seperti sekarang.

“ Permintaan terakhir Mi, almarhumah minta kiranya ibu bersedia hadir di pemakamannya….”

Aku terdiam cukup lama mendengar penuturan kedua perwakilan keluarga almarhumah Mi itu. Entah apa yang harus aku lakukan, aku benar benar serperti tidak tahu. Suamiku sedang di luar kota untuk satu bulan ini untuk mengurusi pengiriman barang barangnya ke Bali. Sedangkan ibuku dan anak anakku sedang berlibur ke Surabaya dan akan kembali secepatnya sepuluh hari lagi.

“ Saya akan menghubungi suami saya dulu mas, tunggu sebentar ya…..” kataku, berusaha mencari alasan untuk mengulur waktu, lima belas atau dua puluh menit saja mungkin cukup untuk membantuku mengumpulkan keberanian.

Masih jelas terbayang di mataku bagaimana kelakuan Mi selama berada  di sini. Bagaimana dia mengocok ngocok kartu kartu beraneka ragam gambar itu. Masih aku ingat bagaimana bau deduapaan dan kemenyan yang dia bakar hampir setiap malam di kamar belakang itu. Masih aku ingat, seperti baru kemarin saja semuanya terjadi.

Masih aku ingat juga bagaimana dia bertutur, bagaimana dia menembang tembang gubahannya sendiri. Sebuah tembang yang dia akui terpetik dari dalam hatinya yang terdalam : sebuah tembang tentang kebencian, tentang hati yang tersakiti….

Duh pas sapa se deddie cellep e ate….
Duh pas sapa se deddie terak e mata….
Dhika pon nyengla tak ngarte ka gummah…..
Ate loka pas sapa se nambe’ennah….
Ate loka tak kuat abe’ nika …
Ate loka ebegie….
Ka dhika se pon agebei seksah….
Ka dhika se ngeding neka tape tak perna taresna…..”**


Ya…., tembang itu masih aku ingat sampai sekarang. Dan setiap kali mengingatnya, aku ingin berlari dan berteriak hingga semua kenangan dan bisikan itu hilang dari kepalaku, selamanya!

“ Kenapa kamu nembang seperti itu Mi?” tanyaku suatu hari padanya. Tapi Mi hanya terenyum simpul seperti biasanya. Sebuah senyum yang menyimpan luka. Sebuah senyum dengan tatapan mata penuh kebencian yang mendalam. Tubuhku bergidik setiap kali aku melihat ekspresi wajah Mi itu, bahkan walau itu cuma bayangan dalam ingatanku. Bayangan tentang bagaimana Mi menatap hampa ke sudut ruangan dengan tatapannya yang seolah bisa membakar itu.

“ Kenapa, mbak, tembang yang indah bukan, Mi suka itu……”

“ Indah…..?” tanyaku terdesah pelan. Desahan yang mungkin bahkan aku sendiripun tidak begitu yakin aku telah mengucapkannya. Tapi Mi rupanya tetap mendengarnya dengan jelas. Mi menatapku sejenak, lalu menatap lagi tajam ke sudut ruangan itu.

“ Aku terlanjur sakit Mbak….” Jawabnya, seolah mengerang lewat kalimatnya yang membeku “ Sakit oleh orang orang yang seharusnya menjaga Mi mbak……”

***

“ Bagaimana bu…, “

Pertanyaan kedua utusan  itu mengagetkan lamunanku. Pelan tapi pasti, aku menganggukan kepalaku. “ A…., Aku ikut bersama kalian. Sekarang? “

Keduanya bergumam sukur pada Tuhan. Ada ekspresi lega di kedua wajah mereka. “ Ya, sekarang bu. Kalau mungkin ibu perlu berbenah diri dulu, kami akan mengununggu di sini.”

“ Ah tidak, kita berangkat saja sekarang. Saya begini saja, kasian Mi kalau saya harus bersolek dulu. Mi akan menunggu terlalu lama….”

“ Ah…, sukurlah bu, kalau begitu mari….. “

Aku bergegas ke dalam mobil yang di bawa oleh dua utusan itu. Aku duduk di kursi belakang dan berpesan agar mereka tidak menggangguku. “ Aku butuh untuk sendiri, aku masih terlalu syok dengar kabar ini… ,” pintaku.

Sepanjang jalan, aku masih terus teringat akan Mi. Akan malam malam penuh bau kemenyan dan dupa. Dan juga hio, dupa Cina itu. Mengingat Mi, mengingatkanku juga pada kamar mandi belakang yang tiba tiba saja penuh dengan bunga beraneka warna pada suatu senja yang beranjak malam.

“ Mi, apa yang kamu lakukan dengan bunga bunga itu di kamar mandi….” Tanyaku terkejut.

Mi, tersenyum penuh arti. Dengan tatapan mata yang penuh dengan rasa benci. “ Mi, bicara Mi, kenapa kamu menabur bunga di lantai kamar mandi seperti itu….., ka…kamu gak berbuat yang macam macam kan……”

Mi tersenyum lebih dalam, tatapannya kian membakar. Mi menuntunku. Dia membawa aku ke halaman belakang. Ke bawah pohon bunga kenanga kecil tempat dia menghabiskan hari harinya.

Mi memintaku duduk di sampingnya. Dia memeluk tanganku erat. Seolah tanganku itu, sebuah benda yang bisa menghapus segala luka hatinya.

Mi menyandarkan kepalanya di bahuku,

“ Bolehkah Mi bercerita mbak…..” tanyanya, ketika ayam ayam sudah berlarian santai menuju kandangnya. Tempat di mana mereka akan terlelap malam ini.

“ Bo… boleh Mi…, cerita saja……” jawabku berusaha menahan napas. Mengatur irama detakan dadaku yang tiba tiba berpacu kencang. Entah bagaimana, tiba tiba saja aku merasa yang memeluk tangan itu, yang menyandarkan kepalanya di bahuku itu, bukan lagi Mi, tapi sesosok tubuh tanpa jiwa yang bangkit dari kuburnya untuk membagi duka bersamaku. Dingin, dan semakin dingin saja tangan Mi sore itu.

“ Orang bilang, cinta itu buta mbak, cinta tidak penah mengenal logika…… “ Mi mulai bertutur, mengisahkan kisahnya, “ kata mereka, cinta itu tidak penah mengenal umur, tidak penah mengenal kasta, tidak penah mengenal pada siapa……, cinta itu, tidak penah dipaksakan kan mbak……

Lalu apakah Mi salah kalau Mi cinta pada bapak Mi sendiri…..”

Aku tersentak kaget. Tapi aku harus memastikan kalau aku tidak salah dengar.

“ Siiii…… siapa Mi…..”

“ Bapak, mbak, ayah Mi sendiri…… “ kali ini aku menengang sekurjur tubuhku. Aku ….. aku tidak tau mengapa tiba tiba otakku terasa buntu. Buntu sekali……

“ Bapak kandung Mi, maksudnya…., cinta sebagai anak kan maksud Mi…..” tanyaku dengan debaran jantung yang semakin menggila. Aku berharap Mi akan membuatku lega dengan jawaban yang akan dia lontarkan.

“ Ya, mbak, Mi mencintai bapak kandung Mi sendiri. Cinta seperti seorang gadis mencintai pasangannya, calon bapak dari anak anak yang akan Mi lahirkan.….”

Aku berusaha menarik tangaku dari pelukan Mi. Tapi pelukannya itu terlalu kuat. “ Mmm….mi….” pekikku tertahan.

“ Mi mencitai bapak Mi sendiri, mbak… apa itu salah….? “ Mi mengangkat kepalanya dari bahuku, menatapku dengan mata yang sekarang berkaca kaca, “ Mi mencintai bapak Mi sendiri, Mi ingin bapak menjadi bapak dari anak anak Mi juga, mbak. “ Mi terisak, air matanya perlahan turun ke pipinya yang lembut membeku. Sebeku aku yang tidak tahu harus berkata apa.

“ Mmmmm…. Mi…”

“ Tidak mbak…., jangan katakan Mi salah. Saat ini cuma mbak satu satunya yang Mi harapkan bisa mengerti Mi. Cuma mbak yang bisa membuat Mi tenang… jangan bilang kalau cinta Mi ini salah. Jangan bilang kalau Mi tidak boleh mencitai bapak Mi sendiri….!!!” Mi memekik di depanku. Tanganku masih erat di dalam dekapannya. Dan aku tahu, mataku pasti sedang melotot menahan kaget.

Aku tidak menjawab apapun malam itu. Walau aku tahu sebenarnya apa yang harusnya aku katakan. Tapi dalam keadaan seperti itu, setiap kata seolah olah menjelma asap yang tiba tiba menguap dari dalam tenggorokanku sendiri. Aku tak punya satu katapun untuk Mi dimalam yang menyesakkan dada itu.

***

“ Kita sudah sampai bu…”

“ Ah…, ya….” Desahku. Aku kembali tersadar dari lamunanku.

Aku bergegas turun dri dalam mobil yang membawaku ke rumah Mi itu. Aku membiarkan saja ketika seorang perempuan setengah baya memapahku ke dalam rumah Mi. Limbung rasanya tubuhku ini, serasa hilang tenaga dalam tubuhku seperti menguapnya setiap kata kata dalam tenggorokanku.

Di dalam rumah itu, aku lihat jasad Mi terbaring kuyu di sebuah amben bambu yang tidak begitu tinggi. Wajah Mi membiru, pucat dan pasi. Tapi sesungging senyum Mi yang khas masih terukir di bibirnya yang kini sudah kelu. Tertutup rapat seperti sedang mengabadikan senyuman khasnya itu, senyuman khas seorang Mi, senyum yang mengabadikan sakit hatinya. Senyum yang tiap kali melihatnya, atau mengingatnya, aku selalu begidik. Senyum yang selalu berisi teror, horor nyata yang setiap saat mengganggu hari hariku. Senyum yang selalu mengingatkan aku akan malam malam itu, malam malam Mi bersama kartu kartunya. Malam di mana Mi mengirimkan rasa sakitnya, membaginya dengan orang yang sangat dia cintai, orang yang di pujanya, sekaligus di bencinya sedalam dia mampu.

“ Lihatlah ini mbak,” katanya pada suatu malam, saat aku menemani Mi bermain bersama kartu kartunya. “ Kartu kartu ini adalah teman Mi yang setia. Mereka tidak pernah bohong mbak. Mereka selalu jujur pada Mi. Kartu kartu ini lebih setia dari pada orang orang di luar sana, mbak. Kartu kartu Mi ini tidak munafik seperti mereka. Kartu kartu Mi selalu menolong Mi, mbak, ngasih Mi kebahagian, ngasih Mi kepuasan, hi hihihihihihi….. “ Mi terkekeh sendiri, seolah dia sedang berbicara padaku, dan bercengkrama dengan dunianya sendiri pada saat yang bersamaan.

Mi, selalu menggambarkan betapa dalam sakit hatinya lewat setiap goresan kata yang dia ucapkan, lewat setiap gerik tubuh yang dia ciptakan. Mi seolah punya dunia sendiri, dunia yang hanya dihuni Mi sendiri. Dunia yang hanya bisa di mengerti oleh Mi sendiri. Karena dunia itu, adalah dunia Mi sendiri, tanpa ada orang lain di dalamnya. Dunia Mi dan kartu kartunya. Dunia yang berisi cinta dan rasa sakit yang tak terperikan.

Lalu, Mi menangis sesenggukan sendiri. Tangisan mendalam yang berisi sakit hati, kerinduan dan pendambaan yang baru kali ini aku saksikan. Mi memeluk kartu kartunya, memeluk tangisannya kian dalam.

Aku bergidik. Lagi lagi otakku buntu di depan gadis lugu ini.

“ Mi,…. “ Panggilku. Kuraih pundaknya. Membiarkan Mi menumpahkan segala kegundahannya di bahuku. “ Dunia memang kadang tidak seperti apa yang kita bayangkan Mi, dunia ini kadang terasa sangat kejam, sangat tidak bersahabat…”

Mi menangis membiru.

“ Mi pernah mencintai seorang yang lain mbak.” Katanya malam itu. Aku berfikir, ini mungkin awal dari terbukanya dia padaku. Mungkin ini adalah awal aku bisa masuk ke dalam dunianya. Yang mungkin, bisa jadi awal aku mengangkat Mi dari kesendiriannya.

“ Mi pernah jatuh cinta sama seseorang, mbak. Dia cinta pertama Mi.” Mi mulai berkisah, dalam suasananya yang serak dan dalam. Suara yang aku kenal sebagai suara raga tanpa nafas nafas cinta. “ tapi apa yang dia lakukan sama Mi? mbak tau? Mi sudah memberikan segalanya pada dia. Segalanya mbak…… “ Mi tergugu, aku bergidik. Ada rasa muak yang perlahan menjalari benakku, Muak pada sosok lelaki. Rasa muak yang pernah aku pendam lama, bertahun tahun lamanya.

“ Dia sudah membuat Mi seperti sampah yang tidak pernah di hargai mbak. Mi….., Mi… Mi dijadikan hadiah bergilir setiap malam…… “ Mi meraung dalam tangisannya. Tubuh Mi beguncang. Aku bergetar di seluruh tubuh. Aku merasakan perih dan teriris yang sama dengan yang Mi rasakan. Perasaan seorang wanita yang tersakiti.

“ MEREKA MENJADIKAN MI PELAMPIASAN NAFSU SETAN MEREKA TIAP MALAM MBAK…..  TIAP MALAM….. TIAP MALAM MI SERASA HANCUR MBAK…….“ Mi meraung dalam tangisannya, menumpahkan segala sakit hatinya….

“ Ibu…., Ibu… sabar bu, istighfar….. nyebut bu…..” sepasang tangan keriput menggenggam erat pundakku. Menyadarkanku, membimbing aku kembali kealam sadarku. Tak terasa, tangisanku tumpah di hadapan para pelayat yang hadir.

“ Mari bu, mari ikut saya…” wanita tua itu membimbingku bangkit. Memapahku kedalam bilik kecil yang suram. Bilik di mana Mi menghabiskan hari harinya menjemput ajal.

“ Mi sudah pergi bu, jangan diberati lagi, diikhlaskan saja ya bu….., sebagai neneknya, saya juga merasa sangat kehilangan Mi, cucu perempuan saya satu satunya itu…..” kata kata itu membuat aku serasa luluh. Lalu, tanpa aba aba, aku memeluknya dalam dalam. Memeluknya untuk berbagi tagisan kepedihan ini, tangisan kehilangan ini, tangisan yang seperti tangisan Mi, tangisan yang seerat pelukan Mi di malam itu, malam malam kematian menjemputnya secara perlahan.

“ Lalu salahkah Mi kalau kemudian Mi menilai setiap lelaki itu sama? Mereka hanya datang pada kita pada saat kita di butuhkan saja. Mereka itu datang seperti lalat lalat yang menggerubungi daging yang busuk…., bah……! Mereka itu MENJIJIKKAN…..!!” Kulihat kilatan kebencian yang mendalam di mata Mi malam itu, diantara tetesan air matanya yang bertambah deras. “ Mereka datang hanya untuk mengerubungi seorang Mi yang sudah seperti mayat….!!” Mi kembali melengkingkan kata katanya. Menumpahkan rasa jijiknya penuh penuh. “ Aku BENCI MEREKA…..Mi benci lelaki itu…. MI BENCI……” Mi kembali tergugu, kembali terguncang… kembali meraung raung dalam kehampaannya.

“ Tapi bapak Mi adalah orang yang lain mbak, bapak tidak seperti mereka, bapaklah yang menebus Mi mbak, yang membebaskan Mi dari rumah hitam terkutuk itu…..” aku lihat bulir bulir cinta yang mendalam saat Mi mengucapkan kalimatnya itu. Bulir cinta yang dalam, dalam dan tulus tak terperikan.

“ Itulah sebabnya Mi mencintai bapak Mi sendiri. Tapi karena orang bilang cinta Mi salah, maka bapaklah yang pertama harus mati…..” Mi mendesis, lalu menarik senyumnya yang khas, senyum yang berisi berisi kematian. Senyum yang penuh cinta, cinta tulus yang ternoda kebencian!

***

Sejak malam itu, Mi tidak pernah berhenti bermain bersama kartu kartunya. Mengirimkan rasa sakitnya, mengirimkan ambang kematian pada orang orang yang dia cintai, yang dia benci.

Malam demi malam aku menemani Mi di dalam kamar itu, menemaninya dalam diam. Memperhatikan bagaimana kartu kartu itu terlompat lompat di kedua tangan lugu seorang Mi.

“ Mi sedang mengirimkan kesakitan mbak, sihir halus buat lelaki kejam itu. Mi ingin dia mati pelan pelan, malam demi malam…. “ Mi menyeringai, menunjukkan deretan gigi gigi kematiannya yang kejam.

“ Dan yang ini mbak, ini adalah kematian buat bapak Mi sendiri, kematian perlahan yang sangat manis. Mi ingin bapak mati perlahan, mbak. Dalam hitungan hari sebanyak dia berusaha menemukan Mi. Mi tidak ingin bapak mati dengan susah payah, Mi ingin kematian bapak Mi tidak menyakitkan. Tapi pelan, pelan tapi pasti. Dan di hari dengan tanggal yang sama dengan waktu bapak menemukan Mi, kematian itu akan mencapai ubun ubunnya…. Hi hi hi hi hi hi…..”

Kemudian, malam malam Mi dan aku berikutnya, adalah malam malam di mana bebauan itu terus menyeruak kental mengisi udara di kamar Mi. malam malam di mana bunga bunga beraneka rupa menghiasi kamar mandi kami. Malam berasama menyan, bersama dedupaan, di mana hio mengepul di dalam rongga hidung kami. Hingga sampai malam terakhir, dimana Mi mengirim kematian untuk raganya sendiri.

Aku tak tahu harus menangis atau harus bersukur malam itu. Harus menangis kalau akhirnya Mi juga harus pergi, ataukah harus bersukur bahwa akhirnya aku akan pergi dari kehidupan seorang Mi, dari sosok dengan cinta dan kebencian yang mendalam.

Tapi Mi hari ini sudah benar benar pergi. Dia pergi membawa cinta dan kebenciannya sekaligus. membawa harapan dan keputusasaannya berasama dengannya. Mi pergi bersama setiap kartu yang menemaninya setiap malam. Bersama tembang yang dia nyanyikan tiap malam. Tembang gubahan Mi sendiri, tembang yang selalu sama, setiap malam.

***

Seperti malam malam di mana aku menemaninya menembang dan mengocok kartu, malam inipun rupanya Mi belum bisa membiarkan aku sendiri saja di sini. Malam ini, ketika aku mengetikkan kisah Mi ini sendiri, sebenarnya Mi sedang berada di sampingku. Menemani aku seperti aku menemaninya setiap malam. Walaupun, Mi hadir hanya sebagai sosok suara tanpa raga.

Mi selalu hadir, pembaca yang budiman, di manapun dia diingat, diingat dengan cara apapun, dengan kebencian atau dengan penuh simpati. Perhatikan, saat desau angin atau keheningan di sekitar kita begitu mencekat, atau ketika sekelebat bayangan mendekat di belakang kita. Mungkin disaat itulah Mi akan hadir, Mi hadir bersama senyum kematian dan tembang sihir kartunya yang khas…..

Duh siapa lagi yang akan jadi penyejuk di hati….
Duh siapa lagi yang akan jadi cahaya di mata….
Engkau telah pergi tak tau kemana…..
Hati luka siapa yang akan mengobati….
Hati luka tak kuat diri ini..…
Hati luka ingin kubagi….
Kepada engkau yang sudah membuat siksa….
Kepada engkau yang mendengar tapi tidak pernah cinta…..”**



** Bait tembang terakhir adalah terjemahan dari tembang berbahasa Madura gubahan Mi diatas.

READ MORE - Tembang Tembang Mi

Rabu, 06 April 2011

Joke of the day : Begini Jadinya Kalau Orang Madura Masuk ke Warung Orang Jawa

“ Entek” adalah salah satu kata yang di gunakan oleh orang orang yang berbahasa Madura sekaligus oleh orang orang yang berbahasa Jawa. Tapi, dalam penggunaannya, kata ini memiliki arti yang sama sekali berbeda.

Dalam bahasa Indonesia, arti ‘entek’ adalah
Madura = tunggu,
Jawa = habis.

Nah, pada suatu hari, ada seorang Madura yang sedang berkunjung ke pulau Jawa. Pada saat jam makan siang sudah hampir habis, dia masuk ke dalam sebuah warung milik orang  Jawa.

“ Nasek settong buk (Madura, artinya ‘nasi satu buk’)“ katanya, dalam keadaan kelaparan.

Tanpa menoleh, pemilik warung menjawab “ entek mas (jawa, entek=habis)” tapi si Madura mengartikan entek tadi dengan bahasanya sendiri (madura, entek= tunggu). Maka menunggulah si Madura diwarung itu sambil menahan rasa laparnya.

Tapi setelah beberapa lama si pemilik warung tidak juga kunjung memberinya sepiring nasi, si Madura berujar kembali “ Buk, nasek settong buk, dulien, la lapar rea (madura, artinya ‘buk, nasi satu buk, cepetan, sudah lapar nih’). Tapi sepertinya si Jawa pemilik warung tidak mengerti apa yang di katakan si Madura. Dia kemudian mendekati si Madura dan berkata “entek mas (jawa, entek=habis)”. Tapi lagi lagi si Madura mengartikan ‘entek’ itu dengan ‘tunggu’. Maka, dengan berusaha menyabarkan diri dan menahan rasa laparnya, si Madura kembali duduk dengan gelisah di tempatnya.

Kejadian ini berulang sampai beberapa kali. Si Madura berbicara dengan bahasa Maduranya untuk meminta si Jawa membawakan sepiring nasi untuknya, sedangkan si Jawa selalu menjawab dengan satu kata yang sama, “entek”.

Sampai akhirnya, kesabaran keduanya rupanya sudah habis. Mereka mulai mengumpat dengan bahsa masing masing, tapi lucunya, mereka berdua tidak mengerti bahwa lawan bicaranya sendang mengumpati dirinya. Untunglah, ada seorang yang masuk ke dalam warung itu tepat ketika mereka berdua sudah siap untuk saling jotos.

Setelah mengetahui duduk permasalahannya, akhirnya orang yang baru masuk itu tertawa terpingkal pingkal. Yang tentu saja hal itu membuat si Madura dan si Jawa terheran heran. Akhirnya, orang itu menjelaskan di mana letak kesalah pahaman mereka. Mendengar penjelasan itu, akhirnya kedua orang itu saling bersalaman meminta maaf seraya tertawa bersama sama. 

READ MORE - Joke of the day : Begini Jadinya Kalau Orang Madura Masuk ke Warung Orang Jawa

Minggu, 03 April 2011

joke of the day : ketika guruku di rumah sakit.....

Tulisan kali ini adalah pengalaman pribadi penulis sewaktu masih menjadi siswa SMU, sebuah kenangan lucu yang penulis alami sewaktu menjenguk seorang guru penulis yang sedang di rawat di rumah sakit. Untuk teman SMU penulis, semoga tulisan yang lucu ini bisa sedikit membuat kita terkenang lagi masa masa indah di sekolah dulu. Untuk teman teman yang sedang berkunjung ke blog ini, mari sejenak kita melepas lelah dan tersenyum setelah membaca tulisan ini.

***

Siang itu, aku dan beberapa orang teman sebagai perwakilan kelas berencana mengunjungi seorang guru kami yang sedang di rawat di rumah sakit. Beliau sudah beberapa hari di rawat disana akibat serangan penyakit tipus. Guru yang akan kami jenguk ini adalah seorang guru agama yang di senangi oleh murid muridnya. Dia pandai bergaul dan mengambil hati anak didiknya. Sudah beberapa orang teman kami yang mampu mengubah kebiasaan buruknya dengan bimbingan beliau.

Singkat cerita, dengan membawa beberapa bingkisan semacam roti dan buah buahan akhirnya sampai juga kami di ruang paviliun tempat guru kami itu di rawat. Keadaannya cukup membuat kami prihatin. Wajah guru kami yang selalu ceria itu, sekarang terlihat pucat, matanya tertutup rapat dengan rambutnya terlihat acak acakan.

“ Bapak sedang solat,” kata istrinya sewaktu tiba di ruang paviliun tempat beliau di rawat. Masyaallah, kagum benar aku pada guruku yang satu ini. Dalam keadaan yang sangat rawan begini, pikirannya masih di penuhi dengan keinginan besarnya untuk menghadapNYA. Semoga kami juga Engkau beri barokah seperti yang engkau berikan pada guru kami ini ya ALLAH….

Tidak berapa lama kemudian, beliau sudah selesai solat. Aku dan teman teman memberi salam kepada beliau. Beliau tampak terharu dengan kedatangan kami waktu itu. Beberapa wejangan beliau berikan pada kami dengan kata kata yang terbata bata. Kami manggut manggut saja mendengar semua wejangan yang disampaikan beliau.

Setelah beberapa saat, guru kami itu diam tanpa mengucapkan sepatah katapun. Mulutnya komat kamit seperti orang yang sedang berdzikir.

“ Bapak menahan sakitnya dengan selalu berdzikir seperti itu,” kata istrinya menjelaskan. Hati kami ternyuh mendengar penjelasan istri guru kami itu. Beliau itu termasuk orang berilmu yang paham akan ilmunya dan mampu mengamalkan apa yang beliau tau.

“ Belum makan siang ya.” Kata beliau tiba tiba. Setelah diamnya yang cukup lama.

“ Sudah kok pak, tadi kami makan siang dulu sebelum berangkat ke sini” kataku cepat cepat menanggapi perkataan beliau.

“ Bukan, saya belum makan siang.” Katanya kemudian.

Doeeeeeennnnnngggggg………!!!!!

Wajahku langsung memerah mendengar lanjutan kalimat itu. Bersamaan dengan itu, beberapa temanku keluar dari dalam ruangan dengan memegangi perutnya. Sesampainya mereka di luar ruangan, aku mendengar mereka tertawa cekikikan tertahan.

Dasar! Pasti mereka sedang menertawakan aku……..
Duh, betapa malunya aku. Gini ini jadinya kalau jadi orang yang sok tanggap…….
TT



READ MORE - joke of the day : ketika guruku di rumah sakit.....

Sabtu, 02 April 2011

Bus Setan Itu Membuat Kami Ingat Kepada Tuhan

Kadang, bahkan sering kali, apa yang di sampaikan oleh orang orang alim itu, seolah cuma angin yang berlalu buat aku. Tiap minggu di rumah rumah ibadah, terasa cuma seperti rutinitas yang membosankan. Ritual keagamaan yang kadang aku ikuti hanya seperti rutinitas ke sekolah saja. Tidak ada yang berkesan, tidak ada yang memebekas. Kematian, surga, neraka, Tuhan, firman, malaikat, menjelma terkadang seperti kata makan, mandi, tidur, yang ada setiap hari, di lakukan tiap hari, tanpa ada yang bisa membekas di hati.

Tapi hari itu, sebuah pelajaran berharga aku dapatkan dari seorang sopir bus lintas kota. Berawal dari terminal Tawang Alun di jember, aku bersama seorang temanku berangkat untuk sebuah interview di sebuah pabrik di kota Pasuruan tepat pukul 4 dini hari. Seharusnya, perjalanan dari Jember ke Pasuruan di tempuh setidaknya 4 jam perjalanan. Jadi, bila kami berangkat pukul 4, kira kira pukul 8 pagi kami sudah berada di tempat interview. Masih akan ada waktu kira kira satu jam sebelum interview di mulai pukul 9 buat kami untuk menyegarkan badan dan pikiran.

Tapi yang terjadi sungguh di luar perkiraan kami. Bus yang kami tumpangi rupanya adalah bus setan. Bagaimana tidak, perjalanan kami di pagi buta itu, cuma butuh waktu 2,5 jam untuk di selesaikan. Terbayang bagaimana ngawurnya bus yang kami tumpangi? Bus yang kami tumpangi pagi itu seperti bus yang sedang di kejar oleh kematian itu sendiri. Dengan kecepatan yang ‘diatas normal’ itu, terbayang bagaimana kengerian yang di timbulkan. Suara klakson bus yang selalu menderu sepanjang jalan, di tambah pekikan tertahan dari para penumpang bus, menjadikan pagi itu benar benar seperti pagi di ambang kematian tiap penumpang bus. Bus bahkan mampu membuat truk-truk besar yang berpapasan dengan bus kami di jalur pantura menepi ke bahu jalan paling kanan. Berkali kali kendaraan kendaraan dan orang orang di pinggir jalan hampir menjadi korban dari bus yang kami tumpangi.

Tapi di balik kengerian itu, ada sebuah hikmah yang bisa kami ambil. Ternyata, saat saat di mana kami benar benar berada di ambang kematian seperti itu, kami benar benar bisa mengingat akan kematian itu sendiri, ingat akan Tuhan yang Maha Berkehendak. Kematian yang selama ini selalu jauh dari ingatan kami, selalu jauh dari pikiran kami. Tapi di pagi yang menyerempet maut itu, tak terasa, secara reflek, kami masing masing berdoa untuk keselamatan kami. Tiba tiba saja kami ingat akan Tuhan, ingat bagaimana memanjatkan doa doa yang selama ini kami lupakan.

Aku benar benar bernafas lega begitu turun dari bus maut itu. Pukul 6.30 kami sudah berada di tempat interview. Walaupun akhirnya aku tidak diterima di pabrik itu, tapi satu pelajaran bisa kami ambil. Pelajaran bahwa kematian itu bisa terjadi kapan saja, dengan apa saja, tanpa bisa kita ketahui sebelumnya. Juga pelajaran bahwa inspirasi itu bisa kita temukan di mana saja, kapan saja, dan dari siapa saja, asalkan kita bisa jeli melihat keadaan.

Mulai hari itu aku berjanji tidak akan pernah lagi naik bus yang sama. Tidak perduli siapa yang mengemudikannya. Aku pilih yang sedikit lambat, tapi bisa sampai di tempat tujuan dengan selamat.

READ MORE - Bus Setan Itu Membuat Kami Ingat Kepada Tuhan