Minggu, 12 Mei 2013

Racun dan Kesepian Gie, Soeharto dan Spiderman



Adalah satu sifat dasar manusia untuk berhasrat bisa duduk dalam kasta tertinggi dalam peradaban. Adalah salah satu sifat dasar manusia untuk dikenal, dihormati dan disanjung orang lain. Sementara yang lain, berdiri sebagai antagonis yang merentangkan kakinya di depan jalan sang penguasa. Apa  guna semua kalau akhirnya apa yang mereka rasakan adalah sama? Tapi dunia adalah panggung sandiwara kehidupan, maka ketika semua peranan menjadi sama, drama apa yang akan berjalan? Tak ada. Dunia hanya akan kelabu tanpa nada.

Antagonis dunia, bukan selalu mereka yang jahat bagai dongen Putri Salju. Tidak selalu bersifat seperti Green Goblin di film Spiderman. Dia, bisa saja sosok seperti Gie dalam sejarah bangsa ini. Atau mereka yang kemudian hilang pada peristiwa Mei 1998. Antagonis, atau protagonis dunia ini tak selalu hitam putih. Mereka bisa saja kelabu. Hitam dan putih itu tergantung siapa yang memandang, dari sudut sejarah mana mereka di ceritakan. Htiler mungkin adalah seorang yang paling di benci sejarah, kalau yang menceritakan adalah orang tak sejalan dengannya. Tapi bagaimana bila Eva Braun yang bekisah? Bisa jadi dia akan jadi pria yang paling tepat untuk di kagumi.

Dalam satu artikel lama yang pernah aku baca, Soeharto pernah bilang dia kesepian dalam puncak kekuasaannya. Seperti Gie yang kemudian harus menjauhi semua orang yang pernah ada di dekatnya karena dia dianggap berbahaya, tak punya masa depan, dan seperti tanaman beracun yang menularkan racunnya pada semua tanaman di sekitarnya. Spiderman harus memutuskan untuk berdusta kepada MJ. Dia mengingkari cintanya dan meminta MJ menjauhinya. Mengapa? Karena dia sadar kalau saat itu, dia sendiri adalah tanaman beracun itu, dan dia tak ingin menularkan racunnya yang mematikan itu pada kekasihnya.

Bila akhirnya semua orang yang bisa mencapai puncak ketenaran dan kejayaannya, baik sebagai protagonis ataupun antagonis bernasib sama : kesepian, maka mengapa banyak orang yang berlomba mencapai fase itu? Aku yakin mereka punya jawabannya masing-masing, dan kita boleh menerkanya dengan bebas. Mereka kemudian sama sama menjadi beracun, mereacuni dan berbahaya dengan caranya sendiri. Kehidupan yang mungkin tak pernah akan kita bayangkan, tapi begitulah konsekuensi. Kalau kita tak siap dengan konsekuensi apapun, maka jadilah orang biasa yang berbuat hanya untuk hidupnya sendiri, dan kita benar-benar tidak akan pernah jadi apa-apa.

“Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan”
Soe Hok Gie

7 komentar:

  1. Bahkan manjawab komen ini saja membawa resiko. Apakah lantas tidak usah komen?

    Everything happen for a reason. Belajar memaknai setiap konsekwensi terjadi.

    BalasHapus
  2. Menurutku jawabannya ada pada risiko yang diambil masing-masing peran. Mengambil peran apa? Terserah.

    BalasHapus
  3. Aku suka kata kata terakhirnya mas..............

    BalasHapus
  4. Seperti itulah kenyataannya. Namun, hiduplah dengan caramu sendiri. Karena aku adalah aku, dan kamu adalah kamu tanpa adanya keharusan menjadi kita... #ApaSih #yangpentingKomen #KepanjanganHestek
    :D Hehe

    BalasHapus
  5. selain “Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan”, kata-kata yang menoreh dihati saya dari Gie adalah "Tidak ada yang lebih puitis daripada kebenaran."
    keren, kak! :)

    BalasHapus
  6. Kehidupan, saya suka dengan kutipan terakhir dari sosok Gie

    Lebih baik diasingkan dari pada hidup dalam kemunafikan. Keren! :D

    BalasHapus
  7. Wets... semangat yang memberontak dalam diri akan rencana penguasa yang tak lagi sejalan dengan harapan rakyatnya menjadi motivasi besar untuk banyak menulis tentang arti sebuah kebebasan, mungkin tepatnya sejatinya sebuah kemerdekaan.. :)

    BalasHapus

.
..
Buktikan kunjungan kamu ke blog ini dengan meninggalkan komentar sebagai jejak kunjungan.
..
.