Sebagai orang yang sebagian hidupnya dihabiskan diatas perputaran roda, sering kali aku menemui hal-hal yang membuat otak untuk berfikir diluar kebiasaan. Saat menemui peristiwa yang sedikit 'berbeda' , walau hal itu sendiri sudah kita ketahui dan maklum akan keadaan tersebut.
Sebagai contoh, saat matahari terbenam, atau pada saat matahari akan terbit. Sering kali aku melihat sosok tua yang berjalan mantab di pinggir jalan melawan dinginnya udara dini hari. Kebanyakan memang mereka yang sudah berumur, jarang sekali aku temui anak muda yang berjalan bersama mereka. Dengan mukenah atau sarung, mereka melangkah kecil menuju masjid atau musolah terdekat. Ada sahdu yang aku rasa saat menyaksikan hal itu hampir setiap waktu subuh. Ada iri yang menyusup di hati ini.
Aku iri karena mereka diberi kemudahan dan ringan kaki untuk menyambut seruannya. Aku iri karena walau punya waktu yang sama, kondisi kami berbeda. Aku tak punya waktu sebebas mereka. Mungkin juga aku tak punya hati selembut mereka yang begitu indah menyambut panggilanNya sesegera mungkin.
Hidup di jalan, membuat waktu yang kami miliki tidak lagi sefleksible mereka yang menetap. Untuk melaksanakan solat, kami harus berhenti di tempat yang benar benar aman untuk parkir kendaraan. Tidak di setiap masjid kami bisa berhenti. Idealnya, masjid yang kami singgahi harus punya tempat parkir luas yang bisa menampung truk di dalamnya. Tidak juga bisa segera solat, harus membersihkan badan terlebih dahulu lalu mengganti pakaian yang kotor oleh debu jalanan dengan pakaian bersih yang dipersiapkan. Itu berarti butuh perjuangan lebih dari mereka yang menetap untuk 'sekedar' melaksanakan solat.
Kondisi seperti ini, kalau tidak kuat tekad di dada, bisa bisa menjadikan malas untuk melaksanakan solat. Kami harus berhenti lima kali dalam sehari, sedang waktu terus bergulir, deadline waktu tiba di tempat tujuan juga jadi pertimbangan. Kalau banyak berhenti di jalan, itu sama saja dengan mengulur ulur waktu. Pilihannya ada dua, sering berhenti tapi harus ngebut saat mesin menyala atau tidak sering berhenti. Kalau tidak sering berhenti, berarti kami tidak punya waktu untuk solat.
Menurutku mereka yang ada di rumah atau bekerja menetap di kantor, toko dsb, punya waktu yang lebih baik dari pada kami yang di jalanan. Mereka bisa solat tanpa harus banyak pertimbangan kemanan dan sebagainya. Tinggal meluangkan waktu sebentar, berwudhu lalu solat. Sangat disayangkan kalau mereka sampai lalai dalam melaksanakan solatnya, sedang tak sedikit dari supir supir truk yang rajin solatnya.
Menurutku mereka yang ada di rumah atau bekerja menetap di kantor, toko dsb, punya waktu yang lebih baik dari pada kami yang di jalanan. Mereka bisa solat tanpa harus banyak pertimbangan kemanan dan sebagainya. Tinggal meluangkan waktu sebentar, berwudhu lalu solat. Sangat disayangkan kalau mereka sampai lalai dalam melaksanakan solatnya, sedang tak sedikit dari supir supir truk yang rajin solatnya.
Begitulah, kadang aku iri pada nenek yang berjalan mantab diwaktu subuh menuju masjid atau musola. Iri pada kesempatan dan kelapangan hati yang mereka miliki, sedangkan aku harus bergulat demi sesuap nasi dalam kabin truk yang melaju kencang. Kadang, ada sebersit doa dan tanya padaNya, kapan kehidupan seperti ini akan berakhir. Kapan kira-kira aku bisa seperti mereka, yang bisa mencari nafkah tapi juga punya kelonggaran waktu untuk ibadah.
salah satu cara agar tidak sering berhenti ya di jama' sholatnya.. memang yang namanya hidup dijalan.. keimanan kita diuji.. bisalah kita membagi waktu antara Kepada Allah dan kepada atasan...
BalasHapusSemoga kita bisa istiqomah mas rd
BalasHapusTak ada alasan untuk meninggalkan sholat. Banyak kemudahan yang diberikan Islam bagi musafir. Aku yakin, mas Ridwan bukan orang yang suka lalai dalam sholat. Perjuangan dalam menegakkannya justru menambah pahala ibadah. Allah memberi kemudahan dalam hal yang lain pada dirimu yang tidak dimiliki oleh si nenek.
BalasHapusDijamak aja mas.
Tetap berpesan, hati-hati kalau meninggalkan barang bawaan. Aku ikut sedih kalau diceritain mas Rd kehilangan.