Senin, 30 September 2013

Dumay to Duta : Ketika Pertama Kali Aku Bertemu Mereka

Banyak hal yang mungkin terjadi dalam dunia maya. Internet dengan berbagai media sosialnya memungkinkan kita untuk bertemu dengan beragam orang dari berbagai tempat. Sampai sekarang, jejaring sosial seperti Facebook telah berhasil pula mempertemukan mereka yang sudah lama sekali tidak bertemu, atau sebaliknya, menjadi sarana untuk terus terhubung antar mereka yang kemudian harus terpisah jarak dan waktu.

Aku juga adalah salah satu bagian yang dari mereka yang sering berinteraksi di dunia maya. Dunia maya mulanya mempertemukan aku dengan beberapa orang yang belum aku kenal sebelumnya. Kami saling berkenalan salah satunya adalah karena kami memiliki satu atau beberapa kesamaan. Beberapa karena alasan hobi, beberapa yang lain, karena kegilaan yang sama. 

Diantara mereka ada yang kemudian aku kenal dan hilang hanya dalam hitungan hari. Ada yang aku kenal, mulanya biasa, kemudian bertemu dan menjadi teman baik. Teman baik yang sampai seperti saudara. Yah, walau sebagian lain juga harus kembali menghilang dengan berbagai alasan. Beberapa pergi dengan perlahan seperti angin yang berlalu, tapi sebagian yang lain pergi setelah sembilu tertikam. Well, semua bisa terjadi aku kira.

Diantara mereka itu, ada beberapa orang yang meninggalkan kesan mendalam dan menjadi bagian tak terpisahkan akhirnya dalam kehidupanku. Mereka sahabat baikku sekarang. Sahabat yang bahkan seperti saudara dalam perantauan. Walkers, kali ini aku ingin memperkenalkan mereka kepada kalian. Sahabat dunia maya yang kemudian menjadi sahabat baik di dunia nyata. Siapa saja mereka?





Bunda Lahfy

Siapa dia? Seorang ibu rumah tangga biasa yang doyan berlama lama di depan komputer. Berkaca mata besar dengan kerudung yang besar. Pertama kali bertemu dengan beliau, aku mengira ada tokoh si Nida yang menjadi icon majalah Annida menjelma dalam dunia nyata. Orangnya menyenangkan saat diajak ngobrol, sama ramainya dengan saat kami bercakap cakap lewat dunia maya.

Bunda Lahfy adalah seorang blogger juga. Tinggal di Jakarta Barat. Posting pada blognya selalu menjadi acuan bagi mereka yang mencari referensi untuk menjalani hidup, mendidik anak, sampai berbagi kisah romantis tentang mantan pacarnya yang sekarang menjadi suaminya.

Pertama kail bertemu, aku tidak menyangka kalau aku bisa mengenalinya dari jarak yang cukup jauh. Saat itu tengah hari sekitar jam makan siang. Aku sedang berdiri menanti jemputan bersama seorang teman kantorku di depan pos satpam kompleks. Di depan kami, berbaur kendaraan roda dua dan roda empat yang sedang menjemput anak anak yang baru pulang dari sekolahnya. Namun aneh bin ajaib, dari jarak sekian puluh meter, aku bisa mengenali sosok beliau diantara ratusan orang yang menyemut di depanku. Ternyata, walau kami selama ini hanya kenal lewat tulisan tanpa suara dan foto tanpa sapa, memori otakku sudah menyimpan sosoknya untuk ditandai sebagai orang yang patut di kenang dan dipatri sebagai seorang sahabat.




Insan Robbani

Kecelakaan yang aku alami pada 15 Oktober 2010 menyisakan satu bekas luka yang akhirnya menjadi cirikhas di kepalaku. Pada saat pertama kali aku bertemu dengan kang Insan, bekas luka itu masih terlihat begitu jelas, memanjang dari alis keatas sampai menghilang tertutup rambut hitamku. 

Siang itu, aku baru saja keluar dari tempat cetak banner di daerah Ngagel Surabaya. Di tempat parkir yang berada tepat di depan percetakan itu, aku dicegat seseorang. Aku berfikir keras, siapa orang ini. Aku meresa tidak pernah mengenal dia.

“Ridwan ya?”

“Ya,” jawabku sambil berusaha mengingat dan mengenali siapa orang ini. “Siapa?” tanyaku lebih lanjut.

“Insan, Insan Rabbani…”

Aku gembira sekali siang itu disapa oleh seorang teman dari dunia maya. Hanya saja, yang membuat aku bingung, bagaimana dia begitu yakin kalau aku adalah Ridwan yang berteman dengannya di Facebook.

“Dari itu,” jawabnya sambil menunjuk kearah bekas luka di dahiku. Ah, bekas luka ini ternyata membawa berkah. Andai aku tidak memiliki ciri itu di kepalaku, munkin saat itu kang Insan akan ragu untuk menyapaku. Saat itu aku juga tidak mengenal kang Insan karena dia tidak pernah memajang foto dirinya di Facebook. Seingatku dulu, foto profilnya kebanyakan bergambar bunga. Cowok kok foto profilnya bunga. Jiagagagagagaga….

Kang Insan memang salah satu teman di dunia maya, tapi sekarang dia sudah menjadi sahabat yang selalu memberiku semangat, nasihat, masukan dan ide yang aku butuhkan. 

Kang Insan adalah salah satu blogger juga. Blognya, Media Robbani, menjadi salah satu blog bertema religi yang aku suka. Kang Insan tak hanya piawai dalam menulis blog yang berbau islami. Kebanyakan mungkin blogger yang menulis blog dengan tema yang sama adalah hasil dari pemikiran dangkalnya sendiri berdasarkan hukum agama yang masih abu abu baginya. Kang Insan berbeda. Ilmu agamanya sangat mendalam. Itu yang aku kagumi dari dia. Dia menulis apayang dia pahami betul. Maka itu, seorang teman menyebutnya sebagai orang yang “menulis dengan hati.”

Terus berkarya ya kang. Wujudkan inpianku untuk bisa membaca buku yang pada sampulnya tertulis nama kang Insan sebagai penulisnya.




Estin Putri


Aku memanggilnya bunda walau usia kami terpaut hanya beberapa tahun saja. Wanita cantik yang tidak bisa diam. Awalnya aku mengenal dia lewat ‘grup orang orang aneh’ (bukan nama grup sebenarnya) di facebook. Lewat Facebook itulah kami sering ngobrol lewat media pesan pribadi. Dari saling berbalas komen dan status, sampai akhirnya bertukar nomor hp, dari sekedar sms sampai bertelepon ria. Aku masih ingat betul saat dia menghubungiku pertama kali lewat telepon. Sang bunda sedang berada diatas roda duanya di jalanan siang yang menyengat di jalanan Surabaya yang bising. Aku juga masih ingat apa yang ditawarkan saat itu. Nasi goreng! Salah satu makanan favoritku.

Pertama kali bertemu dengannya, dia mengaku kalau sosokku tidak seperti apa yang dia bayangkan selama ini. Dikiranya aku tinggi besar, tapi nyatanya…, beginilah aku apa adanya… (. Pertemuan pertama kami juga ditempat yang istimewa. Di kompleks makam dan masjid Sunan Ampel Surabaya. Pada kopdar pertama itu, ada aku, bunda Estin, Om Willy, teman Om Willy (aku lupa namanya), Leela, Niken dan Firman. Saat itu aku benar benar untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di kompleks Sunan Ampel dan bertemu dengan mereka. Tak disangka, sampai sekarangpun hubungan kami tetap baik.

Bunda sudah seperti saudara sendiri bagiku. Aku sering curhat padanya kalau ada masalah. Usianya yang lebih dewasa, bisa memberiku masukan yang baik. Aku sering berkunjung ke rumahnya dengan berbagai alasan. Mulai dari sekedar berkunjung sampai untuk saling curhat tentang masalah masing masing. Pulang dari sana sering kali aku membawa makanan yang secara sengaja disediakan untukku. Ibu dan bapak dari bunda Estin juga memberikan perhatian yang lebih padaku. Pernah suatu ketika, aku diminta untuk menunggu beberapa lama dirumahnya hanya untuk menanti makanan yang beliau masak matang. Pulangnya, satu rantang lengkap beliau sodorkan padaku untuk disantap di tempat kos. Terharu sekali rasanya. Pernah juga suatu  saat, bunda Estin datang sendiri ke rumah kontrakanku untuk memasak kerang untuk makan siangku. Dia bukan keluarga bagiku, tapi perhatian yang diberikannya, melampaui apa yang bisa diberikan seorang saudara sekalipun.

Terimakasih untuk semuanya salama ini. Ada Allah yang akan membalasnya.




Indra Capunx

Namanya unik. Bahkan saat pertama kali aku berkenalan dengannya di Facebook, namanya lebih unik lagi, malah aneh!

Temanku yang satu ini hobi sekali basket. Dulu, sering dia bawa bola basket ke tempatku bekerja. Maklumlah, studio tempatku bekerja terletak di depan sebuah taman yang dilengkapi dengan lapangan basket. Sampai akhirnya, bola basketnya ‘menetap’ di studio itu dan tak pernah kembali.

Indra adalah salah satu sabahabat baikku. Dari makan, jalan, sampai tidur kami pernah bersama (tolong hilangkan pikiran kotor itu, kami masih normal :D). Bahkan saat aku terluntang lantung tanpa pekerjaan di Surabaya, Indra dan keluarganyalah yang menyediakan tempat untukku bernaung. Aku di terima di sana layaknya keluarga sendiri. Mulai dari makan sampai tidur disediakan dengan gratis. Entah dengan apa aku bisa membalas semua kebaikannya. 

Sampai sekarang, saat statusnya sudah berganti menjadi seorang ayah untuk bayi yang baru dilahirkan istrinya, persahabatan kami tetap kental. Aku masih sering berkunjung kerumahnya (kalau posisiku di Surabaya). Aku juga masih dianggapnya sebagai keluarga. Makan dan tidur di sana seperti sedang berada di rumah sendiri.

Ada sebaris doa yang selalu aku panjatkan. Berharap Allah akan memberikan kemudahan melebihi kemudahan yang pernah dia berikan padaku dan persahabatan ini akan langgeng selamanya.





Tak selamanya dunia maya membawa keburukan. Kalau kita pandai mengelolanya, banyak hal baik yang bisa kita dapatkan. Empat sahabatku itu adalah sebagian kecil contohnya.  Sebenarnya bukan hanya mereka sahabat yang aku dapat dari dunia maya. Masih banyak yang lainnya lagi. Banyak lagi kisah yang bisa dibagikan sebenarnya, tapi biarlah menjadi kenanganku sendiri. 












Bagaimana dengan kalian walkers, apakah kalian punya teman dari dunia maya yang menjadi teman dunia nyata seperti yang aku punya?



READ MORE - Dumay to Duta : Ketika Pertama Kali Aku Bertemu Mereka

Minggu, 29 September 2013

Cinta, Dari Mira W untuk Sebuah khayalan




Sore ini baru saja mendengarkan lagu Bahasa Kalbu-nya  Titi DJ. Lagu lama yang menyimpan banyak kenangan di hatiku. Saat pertama kali lagu ini diluncurkan, aku masih duduk di bangku SMP, kalau tidak salah ingat, masih kelas dua SMP. Lagu ini adalah sountrack sinetron Cinta yang diperankan oleh Desi Ratnasari, Primus dan Attalarik. Sinetron ini menurut saya adalah sinetron terbaik Indonesia yang pernah tayang di televisi nasional. Sinetron ini diangkat dari sebuah novel karya Mira W yang berjudul “seandainya Aku Boleh Memilih”.

Sinetron Cinta ini memang luar biasa dari segi cerita dan pemerannya. Diperankan oleh aktris dan aktor Indonesia yang punya bakat akting luar biasa, menjadikan sinetron ini patut untuk disimak. Lagu yang sering dibawakan dalam sinetron ini untuk meninabobokkan tokoh balitanya sempat menjadi hits juga dikalangan teman temanku saat itu. Lagunya indah sekali. Dinyanyikan dengan lembut penuh penghayatan.

Dari semua bagian yang bisa dikenang dari sinetron ini, menurutku, bagian pembukaannya adalah bagian yang paling bisa melambungkan impianku setinggi langit. Di sana selalu tertulis nama Mira W sebagai penulis cerita ini. Dalam bayanganku saat itu, betapa aku ingin menjadi seperti Mira W. Pandai menuiis dan diakui kehebatan serta kepiawaiannya dalam berkarya.

Kebetulan juga saat itu aku sedang getol getolnya untuk menyelesaikan tulisan pertamaku. Sebuah novel yang berjudul “Penantian.” Bercerita tentang cinta segitiga antar sahabat yang sudah lama tak bertemu. Yah, walau saat itu aku masih duduk di bangku SMP, tapi aku mampu menyelesaikannya juga. Dua buku tuils setebal tiga puluh delapan halaman aku habiskan untuk menyelesaikan kisahnya. Kata temanku sih, ceritanya bagus. Salah satu temanku malah menjadi pembaca setia saat satu demi satu bab aku selesaikan.

Saat yang bersamaan ada salah satu teman baikku juga yang sedang kecanduan untuk menulis. Tulisannya beda sekali gaya bahasanya dengan gaya tulisanku. Gaya tulisannya lebih mirip seperti cerita saduran dari luar negeri dengan nama yang juga kebarat baratan. Menurutku itu keren sekali, ada anak SMP yang bisa menulis dengan gaya bahasa seperti itu. Kesaan hobi kami itu yang menjadi pemicu buatku untuk terus menulis.

Sampai sekarangpun keinginan dan harapan untuk bisa menjadi penulis yang menghasilkan karya yang luar biasa masih hidup dalam otakku. Harapan itu terus saja hidup, walaupun untuk menemui nasibnya menjadi kenyataan bukan jalan yang mudah. Novel pertamaku bernasib tragis. Menjadi daftar hitam dalam sejarah hidupku. Aku sempat berfikir untuk menyerah, melupakan semua harapan dan menjalani hidup apa adanya.

Ketika tahun demi tahun berlalu, waktu juga yang menyadarkan aku bahwa apa yang disebut bakat dan keinginan yang tinggi itu tidak dapat dibunuh dengan cara apapun. Dia hidup bagai nyala lilin yang siap membakar dan membesar mejadi obor olimpiade pada saat yang tepat.

Saat ini aku masih terus saja berusaha mengasah kemampuan dan keberuntungan dalam dunia tulis menulis ini. Berharap semoga suatu hari aku benar benar bisa menghasilkan apa yang aku inginkan. Setiap kali nonton film, apa lagi saat di bioskop, aku selalu membayangkan kalau suatu saat, namakulah yang tertera di pembukaannya. Saat pergi ke toko buku, ingin rasanya aku meraih satu buku pada display terdepan toko buku tersebut dimana namaku tertulis sebagai penulisnya. Betapa masa yang aku harapkan akan benar benar terjadi!

Doakan aku untuk impianku ini, Walkers, kemudian akan ada doaku setulus hati untuk setiap cita cita dan harapan mulia yang kalian impikan.



READ MORE - Cinta, Dari Mira W untuk Sebuah khayalan

Jumat, 27 September 2013

Mengapa Bukan Muhammad




“What’s in a name? That which we call a rose by any other name would smell as sweet.”
(Apalah arti sebuah nama? Andaikata kamu memberikan nama lain untuk bunga mawar, ia tetap akan berbau wangi)

Indah sekali, dan memang itu benar adanya menurutku. Shakespeare tidak salah dalam pernyataannya. Toh ketika kenyataannya kita menyebut mawar dan orang inggris menyebutnya rose, dia tetap bunga yang indah dan menawan. Tak pernah ada dia berubah karena penyebutan nama yang berbeda. Seperti melati, jasmine, malateh atau apapun untuk menyebutkan bunga kecil berwarna putih yang memikat. Dia akan tetap begitu, akan tetap bermahkota bintang dengan aroma yang menggoda.

Walaupun begitu, mungkin Shakespeare melupakan satu hal mendasar yang lain. Nama yang melekat pada sutu benda, kemudian menjadi identitas untuk benda tersebut. Sebut saja seperti mawar yang kemudian disebut bangkai. Apa yang kemudian terkesan dalam diri kita? Kita tidak dapat menerimanya bukan? Ya, menurutku, karena saat kata itu dibentuk, sebuah nama diciptakan untuk pertama kaliya oleh pembentuk bahasa pertama kali, maka nama itu akan  melekat pada benda tersebut sampai kapanpun.

Contoh yang lain adalah sampai sekarang tidak ada orang yang rela menamai anaknya Firaun, Latta, Uzza, atau Qorun. Nama nama itu mungkin juga nama manusia, tapi apa yang terkandung di balik nama itulah yang membuat tak seroangpun yang rela memakainya. Jadi, berarti atau tidakkah sebuah nama itu?

Aku bersyukur diberi nama yang indah oleh kedua orang tuaku. Seperti yang pernah aku kisahkan pada posting yang lain, salah satu nama ‘resmi’ yang pernah diberikan kedua orang tuaku adalah Muhammad Ridwan. Aku suka menggunakan nama itu. Nama yang mempunyai arti yang sangat indah. Dalam beberapa literatur Muhammad sendiri berarti orang yang terpuji, sedangkan Ridwan diartikan sebagai keridhaan atau kerelaan. Ridwan dalam ajaran Islam juga dikenal sebagai malaikat penjaga surga, salah satu ciptaanNya yang diberi keistimewaan untuk dekat dengan orang orang beriman kelak. Betapa bangganya aku mempunyai nama seindah itu.

Saat berkenalan dengan orang lain, aku terbiasa menggunakan namaku yang umum dikenal di tempat aku tinggal. Pada suatu tempat, aku mungkin akan memperkenalkan diri sebagai Ridwan, atau namaku yang lain. Tak jadi masalah. Bagiku sama saja. Namun sampai saat ini aku belum pernah memperkenalkan diriku dengan nama Muhammad.

Mengapa?

Karena aku merasa belum pantas untuk menggunakannya. Nama itu bagiku terlalu agung untuk disematkan dipundakku. Terlalu tinggi untuk menandai aku yang masih diliputi dengan banyak dosa dan kehinaan.

Muhammad. Nama itu mengacu pada sesosok manusia yang waskita. Manusia agung pilihan Tuhan. Manusia yang dimuliakan oleh Tuhan sendiri. Nama itu, disematkan pada manusia yang dipilih Tuhan karena kemuliaan akhlaknya. Manusia yang tiada tandingannya. Sedangkan aku?

Aku bahkan tak berani membandingkan diri dengan Beliau yang agung. Maka itu aku tak pernah memperkenalkan diri sebagai Muhammad. Aku merasa aku belum bisa menjadi orang yang terpuji itu. Aku masih belajar untuk menjadi seorang Ridwan, yang ridha dan rela. Belajar untuk menerima dan rela dengan segala yang ditetapkanNya atas garis nasibku.

Ketika ada orang yang memanggilku dengan nama lengkapku, Muhammad Ridwan, dalam hati aku selalu berdoa. Semoga suatu saat nanti aku diizinkanNya untuk bisa menjadi refleksi dari namaku sendiri. Menjadi orang yang terpuji bukan saja dimata manusia, tapi juga di hadapannya. Menjadi orang yang rela atas segala yang ditetapkanNya dalam hidupku. Bukan juga maksud hati untuk  memuliakan diri sendiri, tapi berusaha kearah yang lebih baik adalah sebuah keharusan, bukan?

Walkers, aku yakin dalam setiap nama yang disematkan pada diri kita punya makna yang luar biasa. Sadarkah kita kalau setiap kali nama kita disebut ada doa yang ditujukan pada kita? 


READ MORE - Mengapa Bukan Muhammad

Senin, 23 September 2013

7 Hati 7 Cinta 7 Wanita : Namun Kejujuran Adalah Cinta








Miris!

Itu kata pertama yang ingin aku ungkapkan tentang film ini. Sepanjang film berdurasi lebih dari satu jam ini tak henti hentinya aku merasa geram, kemudian sedih, bercampur kemudian dengan keharuan. Aku jarang sekali membuat poting (bahkan hampir tak pernah) untuk sebuah film yang aku tonton. Kali ini rasanya beda. Ada satu hal dalam diriku yang memintaku untuk menuliskan ini di La-RanTa dan berbagi dengan kalian. Meskipun ini adalah film lawas, tapi tidak ada salahnya mengupasnya disini.

7 Hati 7 Cinta 7 Wanita  adalah Film apik yang menggambarkan seorang tokoh sentral beranama dr. Kartini (Jajag C. Noer). Dia adalah seorang dokter kandungan yang mau tidak mau harus juga larut dalam kisah hidup enam pasiennya. Dengan latar belakang berbeda yang kental sekali untuk setiap karakternya, menjadikan film ini penuh warna. Namun begitu, dengan satu nuansa yang sama, wanita dengan pemahaman cintanya masing masing. Sebenarnya karakter dr. Kartini sendiri bukan karakter tanpa masalah. Dia yang menjadi tokoh sentral disini juga punya segudang masalah yang bahkan tidak mampu untuk dia selesaikan sendiri. Masalah yang general memang, tapi tetap patut untuk direnungkan.

Pasien pertama adalah wanita obesitas yang baru saja menikah. Lastri namanya. Radia memerankan karakter ini dengan cara yang pas dan unik. Karakter wanita gemuk yang bahagia dalam pernikahannya. Dalam film ini, suaminya yang sangat mencintainya selalu setia untuk menemaninya berkunjung ke dr. Kartini. Suaminya juga selalu mengekspresikan rasa cintanya dengan menyukai masakan yang setiap hari dibuat oleh Lastri. Ketika akhirnya Lastri tahu kalau suaminya dalah aktor yang handal, maka semua kebahagiaan itu berubah menjadi api yang membara. Itukah cinta? Miris adanya!

Ningsih (Patty Sandya) adalah karakter selanjutnya. Dia digambarkan sebagai sosok wanita karier dengan pekerjaan mapan yang mengharapkan anak dalam kandungan pertamanya adalah seorang bayi lelaki. Tak seperti film lainnya yang pada umumnya tuntutan untuk memiliki anak pertama dengan gender tertentu datang dari keluarga besarnya, dalam film ini tuntutan itu bahkan datang dari dalam diri Ningsih sediri. Dia bahkan sampai berencana menggugurkan kandungannya bila anaknya nanti diketahui seorang wanita. Karakter Ningsih ini hanya muncul beberapa kali sepanjang film ini, tapi perannya di akhir cerita mampu membuat ending yang mengesankan. Ningsih adalah wanita yang kecewa pada suaminya, tapi tidak pernah bermaksud untuk meminta cerai. Kalau begitu, itukah yang disebut cinta?

Olga Lydia memerankan seorang wanita hamil bernama Lili dalam film ini. Seorang wanita keturunan Tionghoa di Indonesia. Dia adalah seorang wanita yang begitu mencitai suaminya. Luka lebam yang didapatkan karena karakter seksual yang menyimpang dari suaminya diterimanya bukan sebagai siksaan, tapi malah sebagai pembuktian cinta yang tulus. Kalau jiwa wanita mampu untuk menerima dan memaklumi sakit yang diterima raganya dengan tulus ikhlas seperti yang Lili mampu, itukah namanya cinta? Bagiku itu cinta yang sakit.

Karakter Yanti  yang diperankan oleh Happy Salma adalah karakter yang beberapa kali diangkat kelayar lebar dengan berbagai gejolak hidupnya. Yanti adalah seorang pelacur yang setiap malam mangkal untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan untuk bertahan hidup untuk melawan penyakit yang meggerogoti tubuhnya. Yanti punya seorang yang mencintainya dengan tulus. Lelaki yang disebutnya anjelo ini setia menemaninya kemana saja. Anjelo itu bukan nama sang pria, anjelo adalah singkatan dari antar jemput lonte. Nama indah dengan arti yang menyeramkan. Karakternya boleh saja begitu hina dalam pandangan masyarakat kita, tapi di dalam film ini, ending kisah Yanti adalah ending kisah yang indah. Aku tahu ini adalah cinta. Sebuah cinta yang tulus.

Rara (Tamara Tyasmara) punya jalan cerita lain lagi. Gadis kecil yang masih duduk di bangku sekolah tingkat pertama ini  begitu lepas saat menceritakan tentang hubungan pertamanya dengan sang pacar kepada dr. Kartini. Hubungan pertama yang membuatnya hamil! Miris memang saat membayangkan bahwa peristiwa ini bukan hanya terjadi dalam film, tapi juga benar-benar terjadi di dunia nyata di sekitar kita. Hubungannya dengan Ratna membuat cerita ini mengharu biru pada bagian akhirnya.

Ratna (Intan Kieflie) adalah seorang wanita berjilbab yang solehah. Dia adalah seorang buruh garmen yang bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Jujur, karakter Ratna ini yang paling aku suka dari semua karakter yang ada. Karakter wanita yang sejak lama aku harapkan bisa mendampingiku kelak. Bukan untuk bisa meniru apa yang diperbuat suaminya, tapi siapa yang mampu menolak kesetiaan wanita solehah seperti dia?

Dalam film ini, Ratna diceritakan tengah hamil tua. Suaminya yang setiap hari sibuk dengan ‘pekerjaannya’ tetap dia layani dengan sebaik mungkin. Ketika akhirnya Ratna harus mengucapkan kata ‘bangsat’ dengan cara yang tetap lembut pada suaminya, hatiku benar-benar tersentuh. Sebegitu perihnya, pikirku, perasaan wanita saat dia dikhianati. Sampai-sampai seorang yang bagai bunga indah yang tenang seperti Ratna akhirnya bisa mengumpatkan sumpah serapah juga. Adegan mengharu biru diending cerita berasama Rara, membuat film ini meninggalkan kesan yang medalam dihatiku.

Dalam film ini ada juga percakapan yang bukan dilakukan oleh karakter utamanya yang membuat aku menghambuskan nafas kesal. Percakapan itu adalah sebuah permintaan dari seorang kakek yang menginginkan cucunya untuk lahir pada jam, tanggal, bulan dan tahun tertentu. Walaupun sudah dijelaskan resikonya oleh para dokter di rumah sakit itu, toh akhirnya bayi dalam kandungan menantunya itu dikeluarkan secara paksa sesuai dengan permintaan sang kakek. Apakah ini yang dimaksud dengan emansipasi wanita? Atau malah emansipasi pria? Pertanyaan yang dilontarkan oleh dokter Kartini ini mengena sekali untuk mempertanyakan keadaan itu.

Film ini layak sekali ditonton. Bukan karena ketegangan yang disajikan dalam setiap adegannya, tapi karena begitu banyak pelajaran yang bisa kita ambil di dalamnya. Realita hidup yang terjadi di sekitar kita yang selama ini berusaha ditutupi dengan rapi, disini semua di ceritakan dengan fulgar.


Seperti jarum jam yang hanya bisa berdiri diantara pilihannya, ada hati yang terluka dan tersakiti,
Namun Kejujuran Adalah Cinta
(1:28:33)





Bagi yang berminat menonton film ini bisa ditonton secara online via youtube di link berikut :
http://www.youtube.com/watch?v=MNZ_1snZP28


READ MORE - 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita : Namun Kejujuran Adalah Cinta