Minggu, 27 Februari 2011

Aku, Abangku, dan Jodohnya


Siang ini, aku memutuskan untuk mampir sebentar di rumah makan sederhana di depan kantor abangku sebelum aku menemuinya. Lelah rasanya terguncang guncang dalam angkutan umum sejak tadi. Perjalanan 6 jam Bondowoso-Surabaya bukan perjalanan yang cukup menyenangkan.

Macet, panas, bedesakan, laju kendaraan yang tidak stabil, lagu lagu yang bising dari pengamen jalanan yang jumlahnya tidak bisa dihitung dengan jari, ditambah pedangang asongan yang tak terhitung jumlahnya. Aku berfikir mengapa angkutan umum di negeri ini sedemikian parahnya ya? Aku membayangkan seandainya saja aku punya kendaraan pribadi. Mungkin tidak seperti ini keadaannya. Mungkin aku bisa lebih tenang. Mungkin aku bisa lebih menghemat tenatidaku. Setidaknya, mungkin tidak perlu sebising itu.

Tapi segelas es degan yang menemani semangkok bakso panas di depanku sedikit membuatku bisa melupakan efek dari segala kebisingan itu. Sedikit menurunkan temperatur otakku. Membuatnya lebih bisa berfikir jernih. Sehingga nanti, aku bisa bertemu dengan abangku dengan keadaan yang lebih baik.

***

Ada dua wanita muda yang masuk ke dalam warung bakso sederhana ini saat teh di dalam gelasku tinggal separuh. Mulanya, cuwek aja aku dengan kehadiran mereka. Kenal juga tidak. Jadi aku tidak ambil pusing saja. Mereka juga pembeli di warung bakso ini bukan? Sama seperti aku dan orang orang lain yang penuh sesak di warung ini.

Tapi saat mereka mengambil tempat duduk tepat di depanku, kerena memang semua tempat duduk yang lain sudah penuh, mau tidak mau, aku harus jadi bagian dari pembicaran mereka. Setidaknya, aku harus jadi teman yang baik.

“ Panas bener ya siang ini” kata wanita muda yang pertama. Aku kira dia sekitar 24 tahun usianya. Dengan baju kerja warna biru tua dan lipstik yang natural. Dia cantik, juga manis. Dan aku suka melihat goresan wajahnya.

“ Namanya juga Surabaya. Kayak yang baru aja kamu di sini” kata wanita kedua. Yang ini berpakaian serba hitam dengan rambut hitam yang di sanggul kebagian atas kepalanya. Liptiknya merah membara, wajahnya tegas, mengingatkan aku pada istri-istri bawel yang matre. Ouh, semoga saja dia bukan jodohku. ( gagagagagagaga, tentu saja aku ngawur, ….. J )

Wanita pertama hanya mengulas senyum tipis mendengar jawaban teman sekantornya itu. Mungkin sudah terbiasa dia dengan karakternya. “ Ya mbak Ning. Tapi hari ini panas banget rasanya. Mungkin karena pekerjaanku yang numpuk kali ya…..” Timpalnya. Tapi wanita kedua, yang di panggil mbak Ning itu tampak tak begitu peduli, bahkan untuk menoleh dan memberi sedikit senyuman.

Sebentar kemudian, seorang pelayan datang membawa dua mangkok bakso porsi sedang segelas es teh, dan segelas es jeruk. Aku mencoba mengalihkan perhatianku ke layar telepon genggam di tangan kananku. Sebuah pesan aku kirim ke nomor abangku. Mengabarkan kalau aku sudah di warung didepan kantornya.

“ Mas,” kata wanita pertama ketika pelayan itu selesai meletakkan semua barang yang dia bawa keatas meja.

“ Ya..” Pelayan laki laki itu menjawab dengan santun.

“ Tolong, bungkus satu bakso porsi jumbo sama satu es teh di bungkus juga.”

“ Ya mbak.” Jawab pelayan itu “ Cuma itu saja?”

“ Ya mas, makasih ya. “

“ Sama sama mbak. “

Pelayan itu segera berlalu. Tapi belum juga dua langkah pelayan itu pergi, mbak Ning menoleh dengan ekspresi yang kaku kearah wanita  pertama. “ Buat siapa baksonya. Kok bungkus segala?”

Wanita pertama menyungging senyum, “ Buat mas Topek mbak, “ (hatiku berdegup mendengar nama itu di sebutkan, apa mungkin…..)

“ Topek?”

“ Tufik Rahmad Purnomo mbak, kasian dia” kali ini aku yang pasang telinga tetegak tegaknya. Itu nama abangku. Apakah…..

“ Ternyata benar ya yang di kantor selama ini. Kamu benar benar naksir dia kayaknya. Tidak salah ?” tanya mbak Ning. Tidak ada lembut di dalam tutur katanya. Buat telingakuku ini gatal saja rasanya.

Wanita pertama itu senyum saja mendengar komentar mbak Ning. Sepertinya dia sudah terbiasa dengan tabiat teman sekarntornya itu. “ Biar sudah mbak Ning temen temen mau ngomong apa. Aku sudah dengar semuanya kok. “

“ Walah, Mala, Mala, jadi bener toh yang di omongin temen temen sekantor itu? Sayang kalau kamu memang bener bener jadian ma si Topek. Gitu kok orangnya kamu senengin.”

Aku hampir muntab mendengar kata kata orang yang di panggil mbak Ning ini. Busyet dah dia. Kok sampai segitunya sama abangku. Emang abangku seburuk apa di kantornya kok sampai di cap segitu jeleknya.

“ La kenapa toh mbak Ning, apa salah saya suka sama mas Topek?”

“ Topek itu lo orangnya kere,” timpal mbak Ning. Astaghfirullah, pengen tak jotos orang ini sama aku. Tapi aku masih penasaran, apa yang sebenarnya terjadi sama abangku di kantornya. Jadi aku putuskan untuk diam dulu. Dengarkan dulu.

“ Jangan bilang gitu mbak Ning, jangan pandang orang dari hartanya. “

“ Terus dari apanya? “

“ Dari hatinyalah mbak Ning, Topek orang yang baik. Dia beda sama yang lain. “

“ Halah, tak kasi tahu ya Mala. Sekarang ini, kalau cari calon suami itu yang ada duitnya. Mau makan apa kita kalau suami kita orang kere?”

“ Banyak duitnya tapi temperamennya jelek buat apa mbak Ning. Aku pengen orang yang bertanggung jawab saja kayak Topek itu. Dia itu loh selama ini kerja demi keluarganya. Dia itu kerjanya bagus. Kan kita semua sudah tahu kalau bulan ini dia di promosikan. “

“ Ya, aku tahu “ timpal mbak Ning.” Tapi dia itu lo tidak bisa ngatur uang. Masak tiap bulan uangnya abis terus. Sampe sampe di bela belain puasa segala buat ngirit. Emang kemana uangnya?”

“ Di kirim mbak Ning”

“ Dikirim?” wajah mbak Ning mengkerut kerut.

“ Ya, di kirim kerumahnya di Bondowoso. Buat ibu sama adeknya di sana. Bapaknya kan dah meninggal?”

“ Hah, beneran tah?” timpal mbak Ning dengan nada tidak percaya.

“ Bener mbak Ning. Aku tahu sendri kok. Bahkan pernah aku diminta tolong ma Topek buat transfer ke rekening adiknya di sana. Waktu itu, kalau tidak salah dia lupa bawa dompetnya waktu keluar sama aku. Padahal uangnya di butuhkan hari itu juga sama adiknya. Jadi aku tahu kira kira berapa yang dia kirim kerumahnya tiap bulan.”

“ Gitu tah? Banyak ya yang dia kirim ke rumahnya, sampai sampai dia tidak bisa beli celana sama kemeja baru. Perasaan tiap hari yang di pake itu itu saja.”

Mala tampak merenung. “ kasian dia mbak Ning. Pagi ini dia tidak sarapan. Katanya adiknya lagi butuh tambahan uang buat biaya kuliahnya di sana. Jadi dia harus lebih berhemat lagi. “ Mala menghela nafasnya. Jantungku berdegup kencang. Kali ini bukan karena amarah pada mbak Ning, tapi karena jengkel pada diriku sendiri! Aku jengkel dan marah pada diriku sendiri. Perlahan muncul kesadaran dalam diriku. Betapa selama ini aku sudah menjadi benalu buat abangku sendiri.

“ Siang ini, katanya adiknya mau datang ke sini” Mala melanjutkan kalimatnya.

“ Kenapa? “ tanya mbak Ning. Kali ini dengan nada yang lebih lembut.

“ Kartu ATM adiknya keblokir. Kemarin dia salah masukin pin”

Aku menundukkan wajah dalam dalam. Gemuruh dalam hatiku bertambah besar. Aku tahu, pasti wajahku sudah memerah sekarang. Betapa cerobohnya aku! Betapa malunya aku….

“ Kalau gitu, kasian sama Topek ya. Kalau adiknya ke sini, berarti butuh pengeluaran lagi buat ongkos perjalanannya. Gitu ongkosnya masih Topek juga yang kasi?”

“ Gak tahu aku mbak Ning. Makanya aku beliin bakso buat dia. Kasian kalau siang ini dia tidak makan lagi.”

“ Di tambah lontong aja mal, biar lebih ada isinya.” Timpal mbak Ning tiba tiba. Sekarang hatiku luruh. Ada setetes air mata yang mengambang di pelupuk mataku. Aku merasa sangat, sangat tidak berguna sekarang. Sangat bodoh, egois…..! aku benci diriku sendiri….!!! Aku benci…..!!! mbak Ning yang tadi sebegitu bencinya sama abangku saja bisa langsung luluh mendengar kebenaran ini.

“ Ya mbak Ning. Nanti aku pesenin. Kalau di bantu secara materi dia pasti nolak. Kalau gini, mungkin bisa lebih membantu.”

“ Nanti Malam ajak dia makan Malam di rumahku Mal. Aku juga jadi tidak tega dengernya. Emang adeknya itu cowok apa cewek sih.”

“ Cowok mbak.”

“ Sudah kuliah dia ya? Udah besar berarti. Sudah bisa cari uang sendiri seharusnya. Biar Topek bisa lebih mengatur keuangannya. Tidak mau nabung apa dia itu? Kalau mau nikah kan butuh uang.” Kalimat mbak Ning itu terdengar pedas di telingaku. Tapi aku cuma bisa diam saja. Aku sudah runtuh….. aku sudah hancur rasanya…..

“ Dulu Mal, biar aku cewek gini, aku gak pernah minta orang tua buat biaya kuliah. Aku kerja Mal. Nyuci piring di rumah makan. Boro boro mau minta orang tua. La yang mau buat orang tuaku makan sendri saja sudah repot setengah mati carinya. Gimana juga mau nanggung kuliahku…., ini adiknya cowok. Seharusnya Topek bisa kasi dia penjelasan ke adiknya. Emang dia mau nikah umur berapa?”

“ Ya mbak, itu yang juga jadi pikiranku. Topek belum bisa nerima aku katanya karena dia belum siap nanggung hidupku. Dia masih punya tanggungan di rumahnya. Padahal aku sudah bilang sama dia kalau aku mau belajar hidup sederhana. Belajar menerima dia apa adanya.”

“ Orang tua kamu sudah setuju ma hubungan kalian?”

“ Orang tuaku sebenarnya suka ma mas Topek mbak. Mereka bilang jarang ada orang kayak mas Topek jaman ini. Tapi ya itu mbak, mas Topeknya tidak bisa lepas tanggung jawabnya sekarang ini. …….”

Aku bangkit dari tempat dudukku. Ada air mata yang menetes dari mataku. Tapi aku sudah tidak lagi perduli.” CUKUP…..!!!” kataku tegas. Walau aku tahu. Suaraku tidak keluar dengan sempurna.

Kedua wanita itu menganga kaget. “Aku adek mas Topek…….!!!! berhenti bicara tentang aku!!!” Aku berteriak di depan wajah mereka. Tapi sebelum aku bertindak jauh diluar kendali, sebuah tangan dengan cicin yang aku kenali menarik tubuhku menjauh dari sana. Tangan itu, tangan mas Topek.

***

Surabaya sudah kutinggalkan tiga jam yang lalu. Sekarang bus yang aku tumpangi sedang parkir di terminal Probolinggo.

Aku duduk sendiri di salah satu kursi penumpang. Otakku memutar kembali memori tiga setengah jam yang lalu, saat aku sempat bertengkar hebat dengan abangku tadi. Kami bertengkar hebat tepat di depan warung bakso itu.

Aku benar benar kehilangan kendali. Aku merasa aku sangat tidak lagi berguna. Aku merasa kalau aku ini sebernarnya cuma sampah yang bisanya cuma jadi beban orang lain. Aku begitu frustasi tadi. Sampai sampai berusaha menabrakkan diri pada kendaraan yang lewat. Tapi untunglah. Abangku, pria sejati itu bisa mencegahku.

Amarahku mereda ketika  ibu tua pemilik warung bakso itu menyeretku ke dalam ruang tamunya yang berada tepat di belakang warung baksonya. Ada mbak Mala sama mbak Ning juga disana yang bantu abangku menenangkanku.

“ Bang, maafkan adikmu ini ya, aku janji bang, ini adalah uang terakhir yang aku terima dari abang. Bulan depan, cukup abang kirim buat ibu saja. Aku akan berusaha sendiri bang, aku akan jadi seorang lelaki sejati seperti abang.

Bang, makasih sudah jadi inspirasi terbesar dalam hidupku. Terima kasih sudah mengubah aku jadi lebih baik, mbak Mala dan mbak Ning. Tanpa percakapan itu, mungkin aku sekarang tetap jadi seorang pecundang.

Terima kasih Tuhan untuk kejadian hari ini. Terima kasih sudah menegurku. Sekarang aku tahu, tak selamanya menangis itu tanda cengeng. Sekarang aku tahu, kalau menangis itu manusiawi………. Terima kasih untuk hari yang mampu mengubah hidupku ini. Terima kasih untuk segalanya……”



sumber gambar :
READ MORE - Aku, Abangku, dan Jodohnya

Jumat, 25 Februari 2011

Jika Aku Halal Bagimu

Sebenarnya penulis sendiri gak tau siapa sebenarnya penggubah puisi ini. Hanya saja, puisi yang indah ini pernah dikirim oleh seorang dari masa lalu penulis........


Andai aku halal bagimu
Aku ingin menggenngam dan digenggam tanganmu
Aku ingin menjadi pelipur lara hatimu


Jika aku halal bagimu
Aku ingin menjadi sandaran dan bersandar di bahumu
Aku ingin jadi penyemangat hidupmu


Jika aku halal bagimu
Akankah kau mengerti hati ini
Yang berdegup saat bersamamu 
Hingga panas memerahkan wajah ini


Jika aku halal bagimu
Akankah aku megerti hatimu
Saat duka mendalam mendera hidupmu
Hingga tak mampu untuk membaginya


Jika aku halal bagimu
Yang aku inginkan agar aku memilikimu
Dan kau memilikiku


Jika aku halal bagimu






kiriman yang sejenis, tentang cinta dan pernikahan, silahkan cek di sini
READ MORE - Jika Aku Halal Bagimu

Rabu, 23 Februari 2011

Plato, Cinta dan Pernikahan

Berikut ini adalah sebuah rangkaian slide show dari sebuat file power point. File ini dikirim lewat email oleh seorang yang penah jadi bagian dari hidup penulis. Hari ini penulis iseng iseng membuka email email lama. Tertegun sejenak waktu sampai pada email dengan attachment file ini. J, gak ada salahnya kan berbagi hal yang membahagiakan dengan teman teman…..




















Puisinya, bisa di cek disini.....
Jadi, apakah teman teman setuju dengan plato dan gurunya…….
silahkan sampaikan pendapat temen temen di kolom komentar di bawah ini......
READ MORE - Plato, Cinta dan Pernikahan

Minggu, 20 Februari 2011

Cicak di Dinding : Awal Kegagalanku


Aku adalah sang juara, tak ada yang meragukan itu! Di lintasan hitam di malam yang pekat seperti ini, dari tiga tahun yang lalu, akulah rajanya. Dan belum ada yang bisa membantah dengan bukti yang nyata akan hal ini. Tidak! Tentu saja, sampai seokor cicak di langit langit kamarku yang sedang menggoda pasangannya malam itu mengubah arah hidupku seratus delapan puluh derajat tepat. Dari sang raja, sang juara, menjadi pecundang yang meninggalkan arena perang untuk selamanya. Aku meninggalkan gelanggang ini hanya dengan satu kekalahan yang sangat sangat memalukan (sekaligus membanggakan).

Untuk kalian para sahabat mudaku, kutulis ini agar menjadi ilham buat kita semua. Kisah ini terjadi sembilan tahun lalu, ketika aku beru saja lepas dari bangku SMU.

***

“ Tidak ada kebut kebutan lagi malam ini!!!” ibuku berteriak tepat di mukaku malam itu. Ayah berkacak pinggang dua meter di belakang ibuku. Wajahnya yang mengeras, tak bisa aku lawan lagi.

“ Sekarang masuk ke dalam kamar. Tidur!” ultimatum itu masih terus berlanjut. “ Ibu akan mengunci kamar kamu sampai besok pagi. Dan ingat, kalau kamu gak mau juga berubah dari kebiasaanmu ini, setiap malam kamu akan tidur dengan kamar terkunci dari luar…!!!”

“ Bu, aku…..” aku mencoba membela diriku, tapi satu suara keras dari ibuku, menutup mulutku lagi sebelum aku sempat mengucapkan sepatah katapun juga.

“ Tidak ada pembelaan diri malam ini. Kita akan membicarakannya besok pagi, dengan kepala dingin….” Suara ibu masih saja meninggi. Tapi tak pernah aku sadari, bahwa itulah suara ibu yang terakhir aku dengar.

“ Tapi bu…..”

“ Arif…. !” itu suara ayah, pelan, datar, tapi penuh tenaga dan wibawa. Suara yang belum pernah aku bantah selama ini. Bukan karena aku takut pada ayahku. Tapi lebih dari itu, sikap ayah yang tegas dengan sedikit kata katalah yang membuat jiwaku tunduk setunduk tunduknya pada setiap perkataannya. Dan janjinya untuk memblokir seluruh fasilitas yang di berikannya tadi siang kalau aku gak bisa bersikap baik di depan mereka aku sadari betul bukanlah janji yang sekedar diucapkan saja. Ayah selalu melakukan apa yang beliau ucapkan.

“ Arif, masuk kamar kamu sekarang. Besok kita akan bicara hal ini setelah sarapan.” Kata ayah.

Aku menghela nafas berat. Tidak ada celah aku rasa untuk malam ini. Aku berusaha menurunkan egoku sambil berfikir keras bagaimana caranya aku bisa keluar malam ini tanpa harus ayah dan ibuku tahu. Aku dalah sang juara. Dan aku tidak akan terkalahkan oleh siapapun hanya dengan alasan bodoh seperti ini. Aku harus hadir  di sana. Harus!

***

Aku menghempaskan badan di kasur kingsize-ku begitu pintu di kunci dari luar. Otakku berputar putar memikirkan rencana apa dan bagaimana caranya aku bisa keluar dari kamar ini.

Hal pertama yang aku pikirkan adalah menghubungi teman temanku di luar sana. Setidaknya aku harus mengulur waktu agar aku bisa berfikir cara untuk bisa keluar.

“ Dua jam lagi, “ janjiku pada mereka. Dan sukurlah mereka setuju pertandingan malam ini diundur dua jam.

Tapi apa yang harus aku lakukan selama dua jam waktu yang tesisa ini. Aku berputar putar didalam kamar. Mencari setiap celah dan kemungkinan yang bisa aku lakukan untuk kabur. Jendela bukanlah jalan yang bisa diandalkan. Walaupun aku bisa membuka daun jendelanya, tapi aku tidak mungkin bisa untuk menjebol teralis besi yang terpasang kokoh di bagian dalamnya.

Sh***t……!!!

Aku mengumpat dalam perasaanku yang bercampur baur. Benci, gelisah, marah, dengan adrenalin jiwa mudaku yang terus membuncah. Tangan ini rasanya gatal untuk mencenkram pedal gas dalam dalam. Badan ini rasanya meriang tak karuan. Hanya angin malam yang dingin yang bisa membuat jiwaku tenang malam ini. Tapi bagaimana caranya? Bagaimana…….

Aku terus berpikir, terus berputar putar. Melolong dan mengiba agar diizinkan keluar malam ini pada ayah dan ibuku sungguh adalah hal bodoh yang bisa aku lakukan. Tapi itu tidak mungkin. Mereka tidak akan bergeming dari keputusannya.

Telapak tanganku mulai mengeluarkan keringat dingin saat waktu menunjukkan pukul 23.16 menit, itu artinya, hanya ada 44 menit sebelum pertandingan dimulai. Ini adalah pertandingan penentuan bagiku. Seorang jagoan lapangan trek dari kota lawan datang malam  ini untuk menentukan aku atau dia yang benar benar pantas untuk menyandang gelar sang raja, sang juara!.

Kuhempaskan sekali lagi badanku ke atas ranjangku. Pukul 23.21 ketika itu, dan pikiranku makin buntu, makin mustahil rasanya aku bisa kabur. Kupejamkan mataku, tapi pikiranku tetap buntu. Tatap tidak ada jalam keluar. Jiwaku mendidih rasanya, badanku panas dan dingin secara bersamaan. Tak terasa, ada setetes air mata yang menggenangi sudut sudut mataku.

Hah…..!!!

Apa ini? Mana ada sang juara sepertiku menangis! Memalukan sekali. Perlahan kubuka mataku. Dengan napas yang berdengus, kucengkram sprai yang menutupi kasurku ini, ingin rasanya kulampiaskan seluruh kemarahanku malam ini.

Ck… ck… ck ck ck … ck…. Dua ekor cicak melinta di dinding tak jauh dari tempatku berbaring.

Buset, dua ekor cicak itu sepeti mengejekku. Mereka berlari lari riang berkejar kejaran di tembok kamarku. Tidakkah mereka tahu kalau aku lagi dalam keadaan kacau balau sepeti ini?

Kuraih penggaris besiku di meja belajarku. Plak..!! plak… !!! kuhajar mereka. Tapi keduanya lincah benar. Mereka bisa lolos dari setiap pukulanku. Plak…!! Plak…!!! Mereka terus berlari di sepanjang dinding berusaha meloloskan diri dari pukulan pukulan penggaris besiku.

Cicak cicak itu terus berlari keatas, dan…..

Twing…!!!

Mereka menghilang di balik lubang langit langit kamarku. Dan bersamaan dengan itu pula muncul ide cemerlangku. Mengapa aku melupakan lubang buatan di langit langit kamar itu. Bukankah aku bisa kabur dari sana?

Sedetik kemudian, seluruh kekesalanku tiba tiba sirna. Berganti harapan dan kegembiraan yang amat sangat. Terimakasih cicak cicak yang budiman. Suatu hari nanti, aku pasti membalas kebaikan kalian…..

***

Tepat tiga menit sebelum petandingan dimulai aku sudah tiba di arena. Wajah tengang teman teman satu geng motorku perlahan mengendur waktu mereka melihat kedatanganku. Tanpa banyak bicara, aku mempersiapkan diri di atas sepeda motorku. Sepeda motor ini sengaja aku titipkan di rumah salah satu temanku. Buat jaga jaga kalau kalau aku gak bisa bawa motor ini langsung dari rumah. Dan sukurlah, malam ini terbukti analisaku itu tepat.

Lawanku kali ini rupanya bukan orang sembarangan. Dari penampilan dan gaya bicaranya, aku bisa menebak orang ini kira kira berusia 5-6 tahun lebih tua dari aku. Kalau aku sekarang berusia dua puluh tahun, berarti dia berusia setidaknya 25 tahun.

Usia yang cukup matang untuk berdiri di arena trek malam ini. Cukup berpengalaman tentunya. Menyadari kenyataan seperti itu sempat membuatku merasa down beberapa saat. Tapi naluri mudaku berbicara lain. Naluri keegoanku terus menyiramkan racun adrenalin kedalam darahku. Membuat semangat yang sempat meredup itu timbul kembali.

“ Perlintasan malam ini panjangnya lima ratus meter” kata salah seorang diantara kami. “ Tidak boleh menyalaka lampu, tidak boleh menyenggol motor lawan. Ok, kalau sudah siap sekarang hitung mundur dimulai, 4……. 3 …….. 2 …….. 1……… GOOOOOOO……..!!!!”

Motorku dan motornya berderum keras. Sesaat kemudian, aku sudah berada di atas angin rasanya. Tuhuhku serasa terbang bersama laju motor yang aku kendarai ini. Ada perasaan senang, ada perasaan puas, ada jiwa yang serasa terpuaskan. Ada debaran di jantungku, ada adrenalin yang berpacu di aliaran darahku. Aku sangat, sangat menikmati saat saat seperti ini.

Lampu jalanan yang mati setelah ditimpuki teman temanku, lampu motor yang tidak menyala. Ditambah awan gelap yang menutupi gugusan bintang gemintang dan bulan semakin membuat suasana malam ini semakin sempurna. Kegelapan yang sempurna. Tidak pekat benar sebenarnya. Tapi cukup untuk membuat sensasi perlombaan malam ini tak terjabarkan.

Tapi malam ini, rupanya takdir berkata lain padaku.  Saat sedang melaju dengan kecepatan diatas angin, tepat beberapa meter setelah belokan pertama yang mengarah ke pusat industri di kota ini, tiba tiba sebuah raungan panjang di sertai cahaya yang membutakan mata menyambut kami. Aku mendengar pekikan, ada suara keras logam beradu di jalanan. Tapi aku cepat menyadari itu. Aku sadar ada sebuah truk proyek berukuran raksasa yang mejaju lambat di depan kami. Cepat cepat aku banting stir kearah kanan. Arah motorku tak lagi bisa di kendalikan, terus merengsek dengan laju yang sempoyongan. Aku masih sempat melihat pembatas jalan itu sebelum benturan keras antara pembatas jalan dan motorku terjadi. Tapi entah bagaimana tepatnya. Tiba tiba saja, aku sudah merasa tubuhku melayang bebas di udara tanpa beban. Dan sesaat kemudian, semuanya jadi gelap yang sempurna……

***

Hari ini adalah hari ke tujuh setelah kejadian di malam itu. Semua yang ada, yang bisa di ketahui dan diingat tiba tiba jadi begitu pahitnya. Bukan hanya kematian lawan balapan motor liarku yang membuat hatiku miris. Tapi lebih dari itu, dua hari yang lalu, ketika aku terbangun dari komaku selama lima hari, sebuah berita duka yang mendalam yang tak pernah aku kira menghujam telingaku. Ibuku meninggal! Ibuku meninggal akibat serangan jantung mendengar kecelakaan yang aku alami……

Tuhan, andaikan aku engkau perbolehkan untuk kembali ke malam itu, aku ingin meminta padamu : jangan pernah Engkau kirimkan dua ekor cicak itu padaku. Biarlah saja aku tidak menyadari keberadaan lubang di langit langit kamarku. Tuhan, hari ini aku menyadari, bahwa aku kalah, aku lemah, aku gagal. Aku gagal mengukuhkan diriku sebagai sang juara di arena balap liar. Aku gagal menjadi raja jalanan seperti impianku. Tapi di balik semua kegagalanku kali ini, ada hikmah besar yang bisa aku ambil. Tuhan, aku sedih, tapi terima kasih sudah memberiku gagalan dan kesedihan ini…….
READ MORE - Cicak di Dinding : Awal Kegagalanku

Rabu, 16 Februari 2011

Seorang nenek, dan Ilmu Tuhan

Cuma ada beberapa orang panitia dan undangan yang datang waktu aku tiba di lokasi, sebuah gedung perkuliahan universitas ternama di kota ini. mulanya semua berjalan lancar saja. Setiap undangan yang datang mengisi buku tamu yang disediakan oleh panitia. Sebagian dari mereka mengisi buku tamu akademisi, dan sisanya, mengisi buku tamu non akademisi. Memang tidak bisa langsung di bedakan secara kasat mata yang mana yang tamu akademisi,  mana yang tamu non akademisi. Karena umumnya mereka adalah orang orang berada yang bisa datang ke salon untuk mengubah penampilan mereka guna menghadiri acara pengukuhan gelar doktor seperti ini.

Tapi satu tamu yang hadir sekitar lima belas menit sebelum acara pengukuhan di mulai, menyita cukup banyak perhatianku. Tak seperti tamu tamu yang lain, tamu yang satu ini berpenampilan sangat biasa, sangat bersahaja seperti kebanyakan nenek yang biasa bergelut dengan bawang dan  cabai di dapur sederhananya. Tinggi badannya tak lebih dari 145 cm saja. Dengan pakaian kurung sederhana tanpa motif apapun di padu dengan kerudung hitam tanpa corak. Di tangannya, sebuah tas hitam sederhana berwarna hitam semakin menguatkan kesan kesederhanaannya.

Hal kedua yang membuat aku kagum pada sosoknya adalah ketika aku sadar kalau ruang pertemuan ini berada di lantai tiga. Di gedung ini hanya ada tangga, tanpa lift. Jadi tentu saja nenek yang ini sudah bersusah payah sendiri menaiki tangga sampai lantai tiga. Tapi si nenek  tidak tampak kelelahan sewaktu tiba di tempat pertemuan. Penampilan seorang nenek, tapi tenaga seorang gadis!

Hal berikutnya yang membuat jantungku berdegub adalah ketika salah seorang pentia menyambut dan memanggilnya ‘Prof’. aku berharap telingaku salah mendengar apa yang baru saja aku dengar watku itu. Mungkin yang aku dengar hanyalah panitia itu memanggil nama si nenek yang pelafalannya yang mirip dengan pelafalan suku kata ‘prof’ (yang berasal dari kependekan sebutan untuk profesor). Tapi degub jantungku sedikit memburu dan mataku sedikit membelalak ketika si nenek sederhana itu mengisi buku tamu akademisi, yang berarti beliau berasal dari golongan terpelajar. Kali ini, masihkah aku harus berharap kalau telinga dan mataku salah mendengar dan melihat?

Apa lagi setelah melihat dengan mata kepalaku sendiri kalau nenek tua sederhana ini masuk ke ruangan 503, ruang di mana ujian terbuka untuk pengukuhan gelar doktor itu dilaksanakan. Sendangkan untuk tamu dari golongan non akademisi yang berasal dari keluarga dan orang dekat sang calon doktor ada di ruang aula A.

*** 

Semua membuat aku larut dalam renunganku. Manusia, seahli apapun, setinggi apapun ilmu dan kemampuannya, dia tetaplah seorang manusia. Manusia yang tingkatan tertinggi keahliannya hanyalah seorang spesialis. Dokter mungkin adalah bidang dengan sepesialisasi terbanyak. Spesialis anak, kandungan, neurologi, traumatologi dan orthopedi, urologi, dan mungkin masih banyak yang lain. Seorang ilmuan ternama kelas dunia, seperti Einstein misalnya, hanya akan menjadi ahli di satu bidang saja. Dia ‘hanya’ ahli dalam bidang fisika saja, tidak pernah dikabrkan kalau Einstein punya keahlian lebih di bidang biografi atau ketatanegaraan. Seorang Hitler di sisi lain adalah seorang negarawan, seperti halnya dia tidak pernah di beritakan membuat penemuan yang menakjubkan di bidang yang lain. Tidak di bidang fisika atau sastra.

Kalau kita mau mengurutkan kedalam sebuah daftar yang panjang tentang para ahli dan orang orang ternama yang pernah tercatat namanya dalam sejarah, rasanya tidak ada seorangpun yang akan punya tempat di seluruh bidang yang bisa di masukkan dalam daftar itu. Adakah seorang ahli matematika yang juga negarawan, kaligus filsuf, sekaligus ahli sastra, sekaligus ahli biologi, sekaligus seorang dokter, sekaligus seorang negarawan, sekaligus seorang arkeolog dan sekaligus sekaligus yang lain? Benar benar tidak ada rasanya.

Perenungan hari itu membuatku kembali pada sebuah kesimpulan bahwa betapa dahsyatnya ilmu Tuhan itu. Tuhan adalah maha segalanya. Dia adalah ahli di segala bidang. Tuhan yang menciptakan kehidupan yang dapat di telaah dari unsur fisika, yang menunjukkan kalau Tuhan adalah ahli dalam bidang fisika. Tuhan menciptakan isi alam raya yang dapat di jelaskan dalam teori teori matematika. Yang berarti Tuhan adalah seorang ahli matematika. Dalam bidang biologi, Tuhan juga adalah sang ahli. Tuhan juga ahli bukan hanya ahli dalam hal tatanegara, tetapi juga ahli dalam hal tata alam semesta.

Seperti kata pepatah yang hari itu juga aku ingat kembali, bahwa “ semakin tinggi ilmu seseorang, semakin sadar juga kalau dia semakin bodoh.” Seorang dokter spesialis saraf misalnya, seperti yang pernah aku tau saat aku berbicara dengan dia, kalau semakin hari dia semakin sadar, betapa minimnya ilmu yang dia tahu mengenai ginjal atau organ respirasi. Padahal syaraf dan ginjal serta organ respirasi itu masih berada dalam satu disiplin ilmu biologi, atau setidaknya kedokteran. Tapi mana pernah ada seorang ahli ginjal yang melakukan pengobatan sistim respirasi atau ginjal? Atau mana ada seorang guru fisika di smu yang bisa menjabarkan kesenian sebaik guru kesenian yang asli? Atau mana ada guru olahraga yang bisa mengerti detail tentang inti sel sebaik guru biologi? Kita bahkan tidak  pernah tau ada apa di dasar samudra terdalam, seperti kita juga tidak pernah tau berapa sebanarnya banyak bintang diangkasa. Kecuali dalam perkiraan menurut para ahli.

Bila kita mau sadar, betapa bodohnya kita, masihkah kita akan menghakimi seorang tua seperti pada awal tulisan ini dari sampul luarnya saja? Apa lagi, saat acara pengukuhan berlangsung, justru nenek tua yang bersahaja itu adalah salah satu pengujinya? Sungguh, hanya Tuhan yang berhak menilai kita dengan sebenarnya…..
READ MORE - Seorang nenek, dan Ilmu Tuhan

Selasa, 15 Februari 2011

Mempercantik Blog : Widget

Sebagai blogger, kita tentu akrab dengan widget. Ya, widget ini adalah komponen di dalam blog pribadi kita yang fungsinya untuk memperindah blog, memberikan kemudahan akses kepada pengunjug dan memberikan informasi tertentu dalam blog kita. Widget ada yang sudah di sediakan oleh blogger, tapi ada juga yang di sediakan oleh pihak luar yang mendukung perkembangan blog pribadi kita. Contohnya, google, alexa, dan lain lain.

Walaupun pemakaian widget sepertinya menyenangkan sekali, tapi perlu di ingat bahwa terlalu banyak widget yang kita gunakan didalam blog kita, akan berpengaruh pada kecepatan loading blog. Semakin banyak widget yang kita pasang di blog kita, waktu loading yang di butuhkan untuk membuka blog kita akan semakin lama. Hal ini berpegaruh pada pengunjung blog kita. Pada koneksi yang lambat hal ini akan terasa sangat mengganggu, dan bisa bisa pengunjung akan membatalkan kunjungannya ke dalam blog kita hanya karena waktu loading yang telalu lama. Maka itu, bijaklah dalam menentukan widget yang akan kita pasang pada blog kita.

Cara untuk menambahkan widget pada blog kita sangat mudah,

Pertama, buka dasbor blog yang akan di pasang widgetnya 

Masuk ke tab rancangan.




Klik tambah komponen, 





kemudian akan muncul jendela baru yang berisi jenis-jenis widget yang tersedia


















Pilih widget sesuai keinginan kita,


















Klik simpan,


















Pada tab pengaturan, klik simpan.


Widget yang kita inginkan sudah ditambahkan.
mudah bukan?Selamat menikmati, blogging itu sangat menyenangkan!

Untuk teman teman yang ingin widget diluar yang di sediakan blogspot, silahkan cek di sini.....
READ MORE - Mempercantik Blog : Widget

Minggu, 13 Februari 2011

Aku dan Banjir Situbondo 2008

Hari itu, adalah hari terakhirku cuti kerja, minggu pertama februari 2008. Tepat tengah malam ketika handphoneku berdering dan sebuah pesan singkat masuk.

“Jangan kembali dulu, di sini banjir besar. Di daerah terminal sampai setinggi satu meter. Aku juga belum tidur sampai sekarang, mengantisipasi banjir yang lebih besar lagi bersama pak kos dan orang orang kampung.”

Pesan singkat itu dikirim oleh seorang teman kerjaku di Situbondo yang sekaligus teman satu kosku. Sebenarnya sulit bagiku untuk percaya bahwa kali ini Situbondo diterjang banjir bandang lagi setelah banjir bandang tahun 2002, di bulan yang sama, tepat 6 tahun yang lalu.

Di tahun 2002, kerusakan yang ditimbulkan oleh banjir yang menerjang Situbondo sangat parah. Bila sekarang Situbondo di terjang banjir lagi, yang ada dalam pikiranku adalah betapa parahnya kerusakan yang mungkin di timbulkan mengingat semakin jarangnya tumbuhan yang ada di  sepanjang jalur sungai Sampean.

Dulu, di sepanjang sungai ini, tumbuhan tumbuh subur dan lebat. Masih hidup pula beraneka ragam fauna di sana Yang mungkin sudah sulit di temui di tempat lain. Aku tahu benar keadaan ini karena sungai ini mengalir dari Bondowoso dan bermuara di Situbondo. Yang mana, alirannya ini tepat berada di belakang rumahku. Terkadang masih dapat di jumpai monyet monyet yang bergelantungan di dahan pohon di sekitar sungai, terkadang satu atau lebih ekor biawak masih berkeliaran bebas di bantaran sungai Sampean di belakang rumahku. Bahkan pernah juga warga di sekitar rumahku dihebohkan dengan penemuan seekor ular sebesar pohon kelapa yang hanyut bersama aliran sungai Sampean.

Tapi tahun demi tahun berlalu. Jika dulunya aku bersama teman teman dan ibu ibu muda di sini masih suka mandi mandi dan mencuci pakaian di sungai, sekarang jangan harap bisa mandi dan berenang di sungai Sampean seperti itu. Dulu, di sepanjang sungai ini warga bisa mencari pakis dan tomat serta cabai dan aneka tetumbuhan sayuran khas sungai dengan leluasa, kali ini sudah tidak bisa lagi. Sudah sulit di jumpai keindahan itu di sungai Sampean sekarang.

Bantaran sungainya sudah tergerus hingga mengikis makam dan sawah yang tepat berada di bantarannya. Tetumbuhan di sepanjang sungai ini sudah hanyut terbawa banjir yang melanda setiap tahun. Ditambah lagi penebangan pohon pohon bambu untuk beraneka kepentingan secara membabi buta semakin memperparah keadaan. Bantaran sungai Sampean di belakang rumahku sekarang jadi curam dan terjal, menjadi sulit untuk dilewati untuk mencapai aliran airnya di bawah sana. Di tambah lagi sungainya yang dulu bening dan menyegarkan, sekarang sudah berubah keruh dan berbau amis, anyir dan tidak menyenangkan. Siapa yang berani dan mau mandi di air yang keruh begitu? Warga sekarang lebih suka mandi di dalam kamar mandinya sendiri, mengurangi keasyikan kami menikmati hidup.

Aku menghela napas berat tengah malam itu. Berusaha memejamkan mata yang entah mengapa malam itu jadi sulit untuk di pejamkan. Terbayang orang orang yang selama ini dekat dan akrab denganku di kota santri itu sedang berusaha susah payah menyelamatkan kehidupan mereka dari terjangan banjir.

Paginya, kabar banjir di Situbondo sudah menyebar dengan cepatnya. Bahkan beberapa warga di sekitar tempat tinggalku sudah memasatikannya langsung ke Situbondo. Dan rata rata hasil yang mereka laporkan sangat mencengangkan. Mereka becerita tentang pohon pohon yang roboh dan rumah rumah yang terendam lumpur. Juga tentang jembatan yang tinggal separuh saja.

Kontan saja ibuku melarang aku kembali ke tempat kerjaku hari itu. Ibuku, seperti juga orang orang di sekitar rumahku, khawatir akan terjadi banjir susulan mengingat mendung yang belum juga beranjak pagi itu. Aku sebenarnya ingin segera berada di Situbondo, walau aku tidak tahu apa yang bisa aku kerjakan di sana dalam keadaan seperti ini. Apa lagi mengingat bahwa tempat kerjaku berada di jl Irian Jaya, yang merupakan salah satu tempat terparah yang di terjang banjir tahun 2008 ini. Tapi aku juga tidak bisa membiarkan ibuku di rundung kekhawatiran kalau aku kembali ke Situbondo dalam kondisi seperti ini. Maka jadilah aku menunda keberangkatanku ke Situbondo pagi itu.

***

Tapi esok harinya, sungguh menjadi perjalanan yang sangat berbeda dalam hidupku. Mulanya memang semua terlihat baik baik saja sepanjang jalan menuju Situbondo. Tapi begitu mendekati perbatasan Bondowoso-Situbondo, keadaan berangsur angsur berubah. Di kanan kiri jalan, mulai terlihat bekas bekas banjir yang menerjang tanggal 8 kemarin. Tumpukan lumpur dan potongan potongan kayu dan tumbuhan berukuran kecil sampai besar ada di mana mana. Dari setiap rumah, mulai dari Banyuglugur, sampai di daerah kota, tampak orang orang membersihkan rumah rumah mereka masing masing. Banyak perabotan perabotan rumah yang di jemur di halaman, termasuk kasur dan almari pakaian.

Ketika bus yang aku tumpangi akan melewati jembatan kedua, terjadi antrian kendaraan yang panjang. Dari kabar yang aku dengar diantara penumpang bus ini, aku baru tahu kalau jembatan yang akan kami lewati sudah tinggal satu jalur saja. Jalur yang sebelah timur sudah hanyut di bawa banjir, sedangkan yang jalur sebelah barat, yang masih tersisa, keadaannya sudah sangat menghawatirkan. Aku sempat berdoa agar jembatan yang kami lalui tidak tiba tiba tubuh ketika bus yang kami tumpangi tepat melintasinya.

Selepas jembatan itu, hatiku makin miris, sebuah rumah yang tepat berada di tepi perempatan jalan hancur tanpa sisa. Sebatang pohon yang sangat besar telah merobohkan rumah itu. Di sisi lain, yang dulunya adalah deretan toko permanen dan beberapa rumah, sekarang sudah rata dengan tanah. Kalau mungkin ada yang tersisa, mungkin hanya beberapa meter ubin lantai rumah. Semakin masuk kedalam kota, semakin tampak kerusakan yang terjadi. Situbondo yang bersih, pagi itu aku lihat muram dan bercorak lumpur. Lumpur dan sampah di mana mana. Batang pohon dan raut wajah pilu warga terlihat di sepanjang jalan yang aku lalui.

Ketika aku turun dari bus di depan kantor dinas kebersihan seperti biasanya keadaan semakin membuatku mengelus dada. Di sana, lumpur di tepi jalan sampai menutupi mata kakiku. Hingga terpaksa aku berjalan tanpa alas kaki sampai di tempat kerjaku di jalan Irian Jaya.

Di jalan Irian Jaya sendiri, lumpur hampir menutupi seluruh badan jalan. Hanya ada satu sampai satu setengah meter bagian tengah jalan yang tidak tertutup lumpur. Sedangkan pada tepian jalan, lumpur sampai menutupi setengah betisku. Di dalam tempat kerjaku, keadaan lebih parah lagi. Lumpur di mana mana, air bersih tidak mengalir, kertas kertas dokumen hancur, obat obatan untuk bahan cetak bergeletakan di mana mana, etalase berisi lumpur hampir setengahnya. Parahnya lagi, salah satu mesin cetak yang berharga ratusan juta rupiah di ruang cetak tidak bisa di pakai lagi. Lumpur menenggelamkan setengah dari komponen komponennya.

Selama hampir seminggu kami tidak bisa beroprasi dengan baik. Satu satunya pekerjaan yang bisa kami lakukan adalah membersihkan tempat kerja kami dari lumpur yang menempel di mana mana. Sulitnya air bersih juga menjadi kendala yang memberatkan pekerjaan kami.

Banjir tahun 2008 itu diperkirakan menyebabkan kerugian mencapai Rp. 200 miliar, mengingat hampir 10 hektare sawah terendam, 639 unit rumah hilang/hanyut, 5.243 unit rusak, 6 unit jembatan hilang/hanyut, 4 unit jembatan rusak, 55 sekolahan rusak berat, 38 sekolahan rusak ringan, lokasi perkantoran hampir keseluruhan mengalami rusak ringan dan 15 orang tewas.*

***

Malam itu, menurut sejumlah saksi mata, air tiba saja datang tak terbendung sekitar pukul sepuluh malam. Suaranya yang bergemuruh, di tambah lumpur dan sampah sampah yang terbawa arus air, menambah suasana malam itu benjadi semakin mencekam dan menakutkan. Sebenarnya, hari itu, hujan yang turun tidak henti hentinya di daerah Situbondo, Bondowoso dan sekitarnya. Hujan yang turun di Situbondo sebenarnya tidak begitu lebat. Tapi di daerah Bondowoso hujan turun sangat deras. Inilah yang sebenarnya yang menjadi penyebab utama banjir Situbondo tahun 2008  itu. Banjir yang terjadi adalah banjir kiriman dari Bondowoso.

Air hujan dalam jumlah besar yang turun di Bondowoso, mengalir bebas begitu saja ke dalam aliran sungai Sampean. Lalu, tanpa hambatan mengalir dengan cepat ke daerah Situbondo, dan tampa halangan lagi merusak dam Sampean baru, lalu masuk dengan mudah ke daerah pemukiman di daerah kota Situbondo.

Andai saja keadaan masih sama seperti sama seperti ketika aku masih kanak kanak, mungkin peristiwa ini tidak harus terjadi. Dulu masih lebat tetumbuhan yang bisa mencegah banjir. Dulu, masih kerap akar tumbuhan bambu di sepanjang bantaran sungai samapean. Dulu, aliran sungai Sampean masih jernih, masih sehat untuk mandi mandi di sana.

Kalau sudah begini, siapa yang harus di persalahkan. Ketika gelombang unjuk rasa meminta pertanggung jawaban pemkot Bondowoso dan penanggung jawab dam Sampean baru mengalir dari Situbondo ke Bondowoso, akankah permasalahan selesai dengan mudahnya? Sungguh tidak ada jaminan bahwa banjir bandang tidak akan menerjang Situbondo lagi di kemudian hari. Ketika masyarakat Situbondo menjadi trauma dan takut berlebihan setiap bulan februari datang, siapa yang bisa memulihkan meraka lagi dari trauma berkepanjangan itu?

Sebenarnya semua kita tau jawabannya. Sebenarnya, kita semua tau apa yang harus di lakukan. Sebenarnya pemerintah dan warga juga tahu kalau masalah sebenarnya adalah menghilangnya aneka macam tumbuhan di bantaran sungai  Sampeanlah yang menjadi masalah utamanya.

Tapi ironisnya, go green, penghijauan, reboisasi dan berbagai istilah itu hanya ramai dalam wacana saja, dalam seminar seminar dan peringatan peringatan hari bumi. Mereka ramai menyerukan apa yang mereka impikan tentang bumi yang kembali hijau,  bumi yang kembali nyaman untuk di tinggali. Atau bagi kami, warga Bondowoso-Situbondo yang tinggal di sepanjang aliran sungai Sampean adalah kembalinya sungai Sampean seperti dulu lagi. Seperti masa kecilku.

Hal yang sama juga terjadi di kabupaten Jember, tetangga kami di bagian selatan. Di sana, banjir bandang sekitar tahun 2005 meluluh lantakkan seisi desa. Ribuan rumah hilang, puluhan orang meninggal dunia, dan ribuan orang terpaksa hidup di dalam barak barak pengungsian selama berbulan bulan.

Masih segar dalam ingatanku peristiwa itu. Masih baru kemarin rasanya aku dan beberapa orang temanku berada diantara penggungsi banjir bandang Panti, Jember itu. Wajah wajah yang kuyu dan lesu ketika mereka harus merayakan Idul Adha di tempat pengungsian.

Kalau di tanya apa sebenarnya yang terjadi di sana, jawabannya juga masih sama dengan apa yang terjadi di Bondowoso-Situbondo. Hutan di hulu sungai Panti sudah habis di tebang untuk berbagai keperluan. Akibatnya, ketika hujan deras datang, tanah di lereng bukit tidak lagi bisa menahan aliran air, dan tak lama kemudian, tebingpun longsor di sertai banjir yang bercampur dengan lumpur.

Sudah cukup rasanya dua kali banjir Situbondo, sudah cukup rasanya satu kali banjir bandang Panti, sudah cukup rasanya banjir tahunan jakarta. Sekarang saatnya teriakan go green, penghijauan dan reboisasi bukan saja ada di dalam seminar seminar memperingati hari bumi semata. Bukan juga kata kata itu hanya ada dalam buku buku pelajaran anak sekolah dasar dan kamus kamus tebal tanpa kita tau bagaimana sebenarnya penerapannya di lapangan.

Mari kita mulai dari diri kita sendiri. Mari nebang dengan menusahakan penanaman kembali saat itu juga. Mari membiasakan membuang sampah pada tempatnya. Kali, bukan bank sampah!

Minimal kita tidak merusak kalau kita tidak bisa mengusahakan kembalinya lingkungan yang alami. Minimal kita berusaha di halaman rumah kita dulu, baru kita berteriak di luar sana.



tulisan ini di ikut sertakan dalam lomba writing contest beatblog





READ MORE - Aku dan Banjir Situbondo 2008