“Mereka merebahkanku di UKS itu
sewaktu aku sudah bisa mengendalikan tubuhku lagi. Aku capek, Rid, capek
sekali. Seperti aku sudah berlari beberapa kilo pagi itu.
Ah…, sudahlah. Kadang berat harus
mengenang semua lagi dari awal. Bisakah kita berhenti?”
“Berhenti? “ tanyaku. “ Setelah
sejauh ini?”
i-1 memandangku dalam-dalam,
seolah mencari titik keseriusan dalam diriku. Kesunyian turun, mengisi ruang
diantara kami. Desahan nafas kami tedengar jelas di udara yang kering,
sementara senja mulai turun di kaki cakrawala.
“Kalau begitu aku akan
menuliskannya sendiri.” Ujarnya. Tiba tiba dan spontan. Sekarang aku yang
memandang kedalam matanya yang cekung. “Aku serius!” katanya lagi. “Kamu boleh
mengeditnya dulu sebelum kamu posting di blogmu.”
Ada binar senang yang aku
rasakan. Harapan untuk bisa berkisah tentang dia sampai tuntas sepertinya
menemukan titik terangnya.
***
gambar dari sini |
Namaku sebenarnya bukan nama yang
tertulis di sini. Tapi si pemilik blog ini, teman baikku, memberiku nama itu.
I-1, dibaca aiwan, bukan I satu. Nama itu dekat dengan namaku yang sebenarnya.
Nama yang aku dapat ketika dia memaksa untuk menulis kisahku ini.
Semalam tadi aku sudah berusaha
sebenarnya untuk menulis sebaik mungkin apa yang aku alami, tapi sepertinya aku
memang bukan orang yang ahli dalam bidang ini. Maka itu hari ini aku datang
pada pemilik blog ini, berbicara padanya dan memintanya mengetikkan semua kata
yang aku ucapkan. Dia lebih tahu pastinya apa yang harus dia tuliskan. Oleh
karena itu, sejak posting ini, aku menggunakan kata ‘aku’ untuk mendiskripsikan
diriku sendiri.
Walkers, siang itu aku tak
dibiarkan sendiri merenung di ruang UKS. Ada seorang guru yang menemaniku. Pak guru
ini, mengajar bahasa Indonesia. Kalau kamu pernah duduk di bangku sekolah,
pastinya kamu tahu, kalau guru yang belum sepenuhnya kita kenal, kita akan
memanggilnya bukan dengan namanya yang sebenarnya, tapi dengan nama mata
pelajaran yang dia ajarkan. Maka itu, walkers, kita sebut saja guru ini dengan
bapak bahasa Indonesia, atau pak bahasa kelas tiga, karena dia mengajar bahasa
Indonesia untuk kelas tiga.
Pak bahasa kelas tiga itu
menemaniku berbincang bincang. Cukup lama. Dia berspekulasi tentang apa yang
baru saja aku alami. Menurut beliau, yang sedikit banyak tahu tentang dunia
supranatural, apa yang aku alami baru saja itu cukup aneh. Beliau ingin
mendiskripsikan ini sebagai kesurupan, tapi janggalnya, mengapa aku bisa pulih
dengan cepat tanpa bantuan siapapun, tanpa diusir dia yang bersemayam dalam
badanku. Dalam kasus kesurupan, seharusnya mereka yang menempati diri kita,
tidak akan pergi tanpa dipaksa untuk berehenti.
Kalau ini tidak didefinisikan
sebagai kesurupan, lalu apa? Sepertinya tidak ada penjelasan logis yang bisa
menjelaskan apa yang baru saja terjadi. Pembicaraan kami berakhir saat bel
tanda pergantian pelajaran berdentang. Pak bahasa kelas tiga mengizinkan aku
untuk kembali ke dalam kelas.
Setelahnya aku mengikuti
pelajaran sebagaimana biasanya. Tak ada yang berubah. Semua berjalan seolah
hari itu tak pernah terjadi apapun. Hanya dalam pikiranku, aku belum bisa
mencerna apa yang terjadi pagi itu.
Walau begitu, kabar sudah
terlanjur menyebar. Kabar tentang aku yang kesurupan waktu itu sudah merebak ke
seluruh siswa di sekolah. Mereka yang bertemu denganku di lorong-lorong sekolah
memandangku dengan pandangan yang aneh. Beberapa malah menghindar, seolah apa
yang aku alami tadi adalah penyakit yang bisa menular memalui udara. Aku belum
bisa menerima keadaan yang berubah drastis itu. Ada penolakan yang terjadi
dalam diriku. Aku merasa sakit hati diperlakukan begitu, sebuah perasaan protes
yang tersirat pelan, tapi pada entah siapa aku bisa mengungkapkannya.
Siang saat aku sedang menunggu
Rai, teman yang selalu memberi tumpangan padaku saat pulang sekolah, pikiranku
masih belum juga bebas dari apa yang terjadi pagi itu. Dari apa yang terjadi
sepanjang pagi sampai siang itu. Rasa sakit dan belum bisa menerima keadaan ini
masih saja menggantung di dadaku. Perlahan ada marah yang tersulut. Semacam api
yang tumbuh dengan perlahan, hangat dan siap membakar.
Siang itu aku memanjatkan doa
dalam dudukku dengan sepenuh hati tanpa ada yang tahu, kecuali aku dan Dia Yang
Maha Tahu. Dalam hati yang terdalam, aku berseru,
“Tuhan, aku tak mau
ini terjadi hanya pada diriku sendiri, semua ini tak adil,
Aku mau yang lain
juga merasakan apa yang aku rasakan,
Agar mereka tak lagi
memandangku sebelah mata.”
Tak disangka, satu bulan
kemudian, doaku terkabul. Saat itu, bukan hanya aku, seisi sekolahpun menjerit
histeris!
Bersambung-à
ß-- bagian awal
Waaahhh... l-1, do'anya serem ih...
BalasHapusMemandang sebelah mata gimana sih maksudnya?
dipandang sebelah mata bund,
HapusI-1 dipandang seperti orang yang 'berbahaya' dan harus dijauhi....
kasihan..
beuhh..bener kata mbak niken..seyyem doanya..
BalasHapusfenomena "kesurupan massal" ini ceritanya...
tapi kalo ada hari pertama, ada hari ke dua, ke tiga dstnya dong?
akan ada kang,
Hapusbukan cuma kisah satu dua hari,
ini kisah sepuluh tahun lamanya....
berarti ada stock postinga buat 10 tahun ke depan #abaikan :D
Hapusbegtitulah kira krira mas... :)
Hapushuuuft.... #helanafas
BalasHapusjangan lupa untuk melanjutkan bernafas... :D
Hapusjangan lupa bernafas, mas :D
Hapuskunjungan perdana mas
BalasHapusjadi tidak tau mau komentar apa dulu
hehehe
idzin follow mas blog-nya
dtunggu follow back
baiklah... :)
HapusI-1... jangan berdo'a yang begitu........................... mendingn berdo'a yang baik.. huhu
BalasHapussemoga menjadi masukan buat dia... :)
Hapus