Gambar dari sini. |
Aku pernah membaca dalam satu
artikel di internet, tapi aku lupa dimana. Ketika aku cari menggunakan beberapa
kata kunci juga belum ditemukan sejak tadi. Aku pikir biarlah.
Sebenarnya itu artikel lama yang
pernah aku baca, beberapa tahun yang lalu mungkin. Kalau kalian bertanya dan
penasaran apa yang membuat aku masih ingat apa yang dituliskan di sana walau
sudah lewat bertahun tahun lamanya, aku jawab, pasti sesuatu yang istimewa. Artikel
yang membuka pikiranku untuk berfikir berbeda. Kalau orang barat sana bilang,
pola pikirku jadi ‘up side down’. Berbolak balik.
Dalam artikel itu diceritakan ada
sepasang suami istri yang sedang menuju dokter untuk pemeriksaan rutin anak
mereka. Saat itu mereka di sebuah lift yang akan mengantarkan mereka kelantai
rumah sakit dimana dokter tersebut sedang praktik. Mereka murung dan sedih. Ada
beban berat yang menyelimuti mereka ketika memikirkan nasib anak mereka.
Secara kebetulan, di dalam lift
itu mereka juga bertemu dengan seorang pasangan muda yang membawa anak dengan
kondisi sama dengan anak mereka. Keduanya, anak anak mereka itu, tergolek lemas
di dalam kereta dorongnya masing masing. Usianya juga relatif sama. Mereka nyaris
dalam kondisi yang sama. Yang membedakan justru adalah keadaan kedua orang tua
mereka. Orang tua pertama dengan muka yang penuh beban, sedangkan yang kedua
dengan wajah yang tetap berseri. Penasaran dengan bagaimana kedua orang tua
yang kedua itu bisa tetap bahagia walaupun anak yang mereka miliki tak sempurna,
orang tua pertama bertanya pada mereka dengan canggung tentang apa yang membuat
mereka begitu besar hati menerima anak mereka yang tak sempurna itu. Jawabannya
singkat dan sungguh telak.
“Well,” jawab mereka. “Anak yang
istimewa hanya akan diberikan kepada orang tua yang istimewa. Tuhan tak pernah
salah. Semua hanya tentang bagaimana kita menanggapinya.”
Subahanallah!
Sebuah jawaban yang cerdas dan
seratus persen benar. Semua hanya tentang bagaimana kita menanggapinya. Selama ini,
kebanyakan dari mereka yang dikarunia anak dengan kebutuhan khusus banyak yang
mengeluh. Mereka sedih dan menyalahkan keadaan. Tak sedikit kisah yang
menunjukkan kalau kemudian mereka menghujat Tuhan. Ahai, manusia! Siapakah dirimu
yang berani menghujat Sang Maha Pencipta?
Manusia yang lemah bukan mahluk
yang sempurna. Tuhanlah yang sempurna. Tuhan tahu dimana batas kemampuan kita. Tuhan
tahu dimana tempat kita harusnya berhenti diberi cobaan. Saat cobaan datang
kepada kita, saat itu Tuhan juga sudah tahu kalau kita mampu untuk melewatinya.
Tinggal bagaimana kita sendiri untuk melewati ujian itu.
Walkers, ungkapan “Semua hanya tentang
bagaimana kita menanggapinya” tidak hanya bisa digunakan dalam kisah yang
pernah aku baca diatas. Sebenarnya hal itu bisa kita terapkan dalam kehidupan
sehari hari. Bahagia, duka, susah, sedih, berat, ringan, gembira, sebenarnya
adalah kondisi kejiwaan yang bisa kita atur secara sadar. Pernah bukan kita
mendengar ungkapan “berbahagialah maka hati kita akan menjadi riang, bukan
karena hati kita riang kita jadi bahagia”. Banyak ungkapan sejenis dengan
maksud yang nyaris sama. Ungkapan yang indah akan tetap menjadi ungkapan indah
yang pernah kita baca, tak akan berarti sampai kita bisa menerap maknanya dan
melaksanakannya dalam kehidupan sehari hari.
لَا يُكَلِّفُ
اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
ۚ لَهَا مَا
كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ ۗ
رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ
نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا ۚ
رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا
إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى
الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا ۚ
رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا
لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ
ۖ وَاعْفُ عَنَّا
وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا ۚ
أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ
Allah tidak membebani
seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari
kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang
dikerjakannya. (Mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum
kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau
bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada
orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami
apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan
rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum
yang kafir"
Dari artikel itu rupanya kalimat yang pernah mas Ridwan tuliskan di salah satu komen blogku. Waktu membacanya aku langsung melihat ke dalam diri sendiri... sudahkah aku menjadi orang tua yang baik?
BalasHapusTulisan ini menyejukkan hati. Mensyukuri akan Maha Sempurnanya Alloh dalam mengatur kehidupan hambaNya.
Jadi, berbahagialah yang kemaren habis kopdar seru, maka hati akan menjadi riang. OK?
sukurlah kalau ada hikmah yang bisa diambil bund... :)
HapusDi sekolahku ada anak ABK, tuna grahita. Mereka memang lain, kadang agresif ganggu teman. Sebetilnya, masalah apa itu ujian atau anugerah tergantung kacamata kita, bertahun tahun aku melatih untuk bisa beranggapan bahwa hal yang menyakitkan hati afalah demi kebaikan, hanya butuh kesabaran tanpa batas
BalasHapusbenar, mungkin itu adalah ujian. kalau kita bisa lulus dalam ujiannya, insyaallah ada hal yang ndah yang sedang menanti kita.
Hapusada juga yang bilang, " jangan menunggu bahagia baru kau tersenyum, tapai tersenyumlah maka kau akan bahagia" ngono yo cak..?
BalasHapusAammin atas doa dalam Surat Al Baqoroh ayat terakhir (286)
bener kang,
Hapuskurang lebih begitu....
Anak "istimewa" justru memiliki kelebihan yang nggak dimiliki oleh orang lain pada umumnya. Sayangnya nggak semua orang tua menyikapinya dengan istimewa, malah menjadi beban. Pola pikir itulah yang seharusnya tidak ada dalam diri orang tua.
BalasHapusmari dukung untuk pola pikir yang lebih baik....
Hapussubhanallah sekali, tulisan ini bikin saya mikir lagi mikir lagi dan mikir lagi, selama ini sering kurang bersyukur dan kurang berbakti pada orang tua.
BalasHapus#tertegun
alhamdulillah kalau tulisan ini ada manfaatnya....
Hapustulisan nya mambuat pencerahan baru
BalasHapusalhamdulillah...
Hapustes komen.. walupun lemoooottt :(
BalasHapuskomen masuk... :D
Hapus@muhammad ridwan, ya betull....semua tergantung cara kita menanggapinya......karena apapun yg terjadi kpd diri kita/keluarga kita, itulah yg terbaik untuk hidup kita.....intinya adalah tetaplah bersyukur, saat kita dalam keadaan senang maupun susah :-)
BalasHapusbenar,
Hapusbegitulah intinya...
Kalau saya selalu berprinsip.. kadang hati bertanya kenapa, tapi apa yang Allah tulisn itulah yang terbaik..
BalasHapusSalam Kenal.
prinsip yang jempol....
Hapussalam kenal juga