Pemandangan di depan rumah kontrakan. |
Kebenarannya adalah, di tempat
yang awal itu aku tidak kos. Lho?
Ya. Aku tidak kos di sana. Aku menempati
rumah kontrakan. Beda bukan, antara kos dan kontrak? Kalau kos itu sewa satu
kamar untuk tempat tinggal yang pembayannya di hitung perbulan. Beda dengan
kontrak yang pembayarannya di hitung pertahun. Kalau kos, biasanya hanya
sepetak kamar saja, tapi kontrak bisa sampai satu rumah. Begitu bukan?
Yang bayar kontrak bukan aku. Seseorang.
Seseorang itulah yang kemudian mempercayakan apa yang dia kontrak untuk aku
tempati dan kelola. Rumah kontrakan yang aku tempati itu punya dua lantai (baca posting sebelumnya, klik di sini). Aku menempati lantai duanya.
Pemiik asli rumah yang kontrakan
yang aku tempati itu tinggal bersebelahan dengan rumah yang aku kontrak. Jadilah
aku dan pemiliknya sebagai tetangga. Sebut saja namanya bu Suti. Bu Suti ini
berprofesi sebagai guru konseling di sebuah sekolah menengah di Surabaya. Bu
Suti punya empat anak, tiga diantarnya punya wajah dan nama yang nyaris sama. Entahlan,
mengapa anak terakhirnya punya postur dan nama yang jauh berbeda dengan
kakak-kakanya, padahal mereka berempat sama-sama cowok.
Bu Suti punya suami. Sebut saja
namanya pak Tok. Orang yang ramah dan suka bernyanyi. Setiap malam, aku
berkunjung kesana. Biasanya selepas isyak. Ngobrol bareng pak Tok, pak dhe, dan
om. Pak dhe adalah saudara bu Suti, om juga sarudara mereka, tapi dari kerabat
jauh. Kadang pula, ada pak dhe lain yang datang ikutan nimbrung besama kami. Malam
demi malam, aku dan mereka semakin akrab. Ada saja yang di perbincangkan. Mulai
dari maasalah kuliner sampai berdebat masalah nama jalan. Kalau ingat itu,
kadang aku merasa aneh sendiri. Membayangkan beberapa pria dewasa, nimbrung
malam-malam, yang di bahas hanya masalah nama jalan di kota ini. Hahaha…,
maklumlah, profesi kami hampir sama. Pak Tok adalah supir perusahaan, pak dhe
supir pribadi, sedangkan aku seles. Klop bukan?
Satu lagi tokoh penting yang
setidaknya harus aku ceritakan adalah pak Mujar. Dia adalah orang yang dulu
mempertemukan antara pengontrak rumah dan bu Suti ini. Awalnya, hubungan aku
dan pak Mujar ini berjalan baik. Seperti layaknya tetangga, aku juga masih
sering ngobrol dengan dia. Orang lain lagi yang mungkin harus aku sebut adalah
pak Jaf. Pak jaf ini adalah orang yang punya rumah tepat di jalan masuk ke
tempat kontrakanku. Katanya, dia adalah ketua preman di tempat ini. Pak Jaf
adalah salah atu orang terlama yang mendiami pemukiman ini, bahkan keluarganya
sudah di sana, jauh sebelum akses suramadu di bangun.
***
Kehidupanku di tepian barat
surmadu berjalan indah. Sangat indah malah. Aku punya kehidupan yang selama ini
aku inginkan. Rumah yang sudah seperti rumah sendiri, pergulan yang baik dengan
tetangga sekitar, tempat yang mendukung untuk menulis. Semuanya!
Aku merasa aku punya segala
impian kecil tentang tempat yang layak huni yang selama ini ada dalam
pikiranku. Apa lagi, lima kamar dilantai satu dikoskan. Banyak orang yang
tiggal di lantai satu itu. Kalua aku suntuk di lantai dua, aku bisa turun untuk
sekedar mengobrol dengan mereka. Aku juga punya satu dapur kecil tepat di bawah
tangga. Kebutuhan kebutuhan kecil seperti masak nasi, bikin mie instran, buat the
atau kopi, bisa aku sediakan sendiri tanpa harus keluar ke warung.
Bulan demi bulan berlalu. Tak ada
tanda tanda awal kalau aku harus pergi dari sana dalam waktu yang begitu
mendadak dan dengan cara yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Bahkan menerkapun
aku tidak.
Sudah siang, walker. Aku harus
keluar dulu untuk mengisi perut yang sudah bernyanyi sejak pagi. Sambung ke
posting berikutnya ya. Semoga sabar menanti….
Salah satu pemandangan di tepian timur Suramadu |
Tepat di tepi barat Suramadu |
Pemandangan saat hujan dari jendela lantai 2 rumah nontrakan |
Jalan Kedung Cowek saat senja dilihat dari lantai 2 rumah kontrakan |
Saat senja yang kelabu di depan rumah kontrakan |
Salah satu view di depan rumah kontrakan |
Tepok jidat! Masih bersambung!
BalasHapusLebih baik fokus sama foto2nya aja deh. Sesuatu yang belum terbayangkan sebelumnya. Indahnyaaaa...!
Jadi mengerti kenapa semua ide tulisanmu waktu itu mengalir indah. Mengapa sapaan2mu waktu itu begitu riang. Ternyata, tempat tinggal mas Ridwan begitu nyaman ya. Terasa sekali perbedaannya begitu mas Ridwan terpaksa meninggalkan tempat itu.
masih bersambung dong bund... makanya sedikit demi sedikit aja ceritanya, mencuri kesempatan dalam kesempitan.... wegegegegege...
Hapusmemang benar ya bund, apa yang ada di sekeliling kita bisa mempengaruhi bagaimana kita bersikap....
Aku menunggu foto-foto berikutnya, kak.
BalasHapusfoto kedua dari terakhir adalah yang paling aku sukai.
siap, ditunggu postingan berikutnya ya....
HapusInsha Allah :D
Hapussenjanya baguuus bangeett, kak. suramadu ya. semoga suatu saat bisa ke sana. hehe
BalasHapusamiin...
Hapussemoga diberi kesmpatan....
Sungguh beruntung mas bisa tinggal di lingkungan dengan pemandangan Suramadu
BalasHapusbenar sekali, andai mereka menyadarinya...
Hapusakeh iwake ora Cak? wah pingin mancing rasane saya hehehe
BalasHapusakeh lah cak, jenenge ae segoro..
HapusYang masih sibuk sama pindahan kostnya, nah kalo pemandangannya kaya begitu bagus mas jadi ada pemandangan nya jadi gak bikin kita bosan di kosan
BalasHapussekarang sementara malah sudah pindah kota... :)
HapusWaaaaah Suramadu...saya belum pernah ke sana dan ke Surabaya hanya sekali hehehe
BalasHapussilahkan berkunjung kapan kapan...
Hapussuatu kisah cerita pengalaman yg menarik nih dan pemandanganya yg sangat indah.
BalasHapusterimakasih kunjungannya....
Hapus