Adalah satu sifat dasar manusia
untuk berhasrat bisa duduk dalam kasta tertinggi dalam peradaban. Adalah salah
satu sifat dasar manusia untuk dikenal, dihormati dan disanjung orang lain. Sementara
yang lain, berdiri sebagai antagonis yang merentangkan kakinya di depan jalan
sang penguasa. Apa guna semua kalau
akhirnya apa yang mereka rasakan adalah sama? Tapi dunia adalah panggung sandiwara
kehidupan, maka ketika semua peranan menjadi sama, drama apa yang akan
berjalan? Tak ada. Dunia hanya akan kelabu tanpa nada.
Antagonis dunia, bukan selalu
mereka yang jahat bagai dongen Putri Salju. Tidak selalu bersifat seperti Green
Goblin di film Spiderman. Dia, bisa saja sosok seperti Gie dalam sejarah bangsa
ini. Atau mereka yang kemudian hilang pada peristiwa Mei 1998. Antagonis, atau
protagonis dunia ini tak selalu hitam putih. Mereka bisa saja kelabu. Hitam dan
putih itu tergantung siapa yang memandang, dari sudut sejarah mana mereka di
ceritakan. Htiler mungkin adalah seorang yang paling di benci sejarah, kalau
yang menceritakan adalah orang tak sejalan dengannya. Tapi bagaimana bila Eva Braun
yang bekisah? Bisa jadi dia akan jadi pria yang paling tepat untuk di kagumi.
Dalam satu artikel lama yang
pernah aku baca, Soeharto pernah bilang dia kesepian dalam puncak kekuasaannya.
Seperti Gie yang kemudian harus menjauhi semua orang yang pernah ada di
dekatnya karena dia dianggap berbahaya, tak punya masa depan, dan seperti
tanaman beracun yang menularkan racunnya pada semua tanaman di sekitarnya. Spiderman
harus memutuskan untuk berdusta kepada MJ. Dia mengingkari cintanya dan meminta
MJ menjauhinya. Mengapa? Karena dia sadar kalau saat itu, dia sendiri adalah tanaman
beracun itu, dan dia tak ingin menularkan racunnya yang mematikan itu pada
kekasihnya.
Bila akhirnya semua orang yang
bisa mencapai puncak ketenaran dan kejayaannya, baik sebagai protagonis ataupun
antagonis bernasib sama : kesepian, maka mengapa banyak orang yang berlomba
mencapai fase itu? Aku yakin mereka punya jawabannya masing-masing, dan kita
boleh menerkanya dengan bebas. Mereka kemudian sama sama menjadi beracun,
mereacuni dan berbahaya dengan caranya sendiri. Kehidupan yang mungkin tak
pernah akan kita bayangkan, tapi begitulah konsekuensi. Kalau kita tak siap
dengan konsekuensi apapun, maka jadilah orang biasa yang berbuat hanya untuk
hidupnya sendiri, dan kita benar-benar tidak akan pernah jadi apa-apa.
“Lebih baik
diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan”
Soe Hok Gie
Bahkan manjawab komen ini saja membawa resiko. Apakah lantas tidak usah komen?
BalasHapusEverything happen for a reason. Belajar memaknai setiap konsekwensi terjadi.
Menurutku jawabannya ada pada risiko yang diambil masing-masing peran. Mengambil peran apa? Terserah.
BalasHapusAku suka kata kata terakhirnya mas..............
BalasHapusSeperti itulah kenyataannya. Namun, hiduplah dengan caramu sendiri. Karena aku adalah aku, dan kamu adalah kamu tanpa adanya keharusan menjadi kita... #ApaSih #yangpentingKomen #KepanjanganHestek
BalasHapus:D Hehe
selain “Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan”, kata-kata yang menoreh dihati saya dari Gie adalah "Tidak ada yang lebih puitis daripada kebenaran."
BalasHapuskeren, kak! :)
Kehidupan, saya suka dengan kutipan terakhir dari sosok Gie
BalasHapusLebih baik diasingkan dari pada hidup dalam kemunafikan. Keren! :D
Wets... semangat yang memberontak dalam diri akan rencana penguasa yang tak lagi sejalan dengan harapan rakyatnya menjadi motivasi besar untuk banyak menulis tentang arti sebuah kebebasan, mungkin tepatnya sejatinya sebuah kemerdekaan.. :)
BalasHapus