La-RanTa
Minggu, 04 Januari 2015
Griya Lahfy, Syar'i dan Amanah
Senin, 20 Oktober 2014
Tuhan, Aku Minta Tujuh Ratus Lima Puluh Ribu Rupiah Tunai
Oke, Tuhan, aku pasrah, aku ikut semua skenariomu. Engkaulah yang lebih tahu apa yang lebih baik untukku saat ini. Tapi sungguh, aku ingin motor baru.
Sabtu, 26 Juli 2014
Pulang (2) : Naik Apa
Setelah berpamitan untuk resign, hal selanjutnya adalah memikirkan bagaimana aku pulang. Ada beberapa moda transportasi yang bisa aku gunakan. Bisa dengan pesawat, kereta api, atau bus. Hmmm, tahukah kalian bagaimana melafalkan nama moda transportasi yang satu ini? "Bus" dibaca "bis", "bes", "bas", atau "bus"?
Aku sudah pernah pulang kampung dengan kereta api. Tiketnya lumayan untuk kereta kelas eksekutif. Waktu itu, aku ingat saat mencari tiket kereta api secara online untuk pulang kampung harganya tidak jauh berbeda dengan tiket pesawat terbang yang paling murah. Jadi apa salahnya kalau sekarang aku mencoba bagaimana enaknya naik pesawat terbang.
Di bulan maret aku mulai browsing mencari tiket untuk keberangkatan paling cepat tanggal 20 juli. Betapa terkejutnya aku saat itu. Tiket pesawat untuk semua jurusan pada tanggal diatas 20 Juli naik dua kali lipat dari hari biasanya! Padahal untuk tiket dihari sebelumnya, tanggal 19 dan sebelumnya, tiket masih berkisar di harga normal. Aku mencoba semua maskapai dan hasilnya sama. Ini gila!
Oke, untuk meredakan keterkejutanku aku memcoba untuk melirik tiket kereta. Sayangnya tiket kereta untuk tanggal 20 Juli dan setelahnya belum bisa aku akses. Hal ini karena pemesanan tiket kereta baru bisa dilakukan h-90. Itu berarti aku baru bisa melihat daftar harga sekaligus melakukan pemesanan bulan depan. Ok, tidak masalah. Aku bisa menunggu. Setidaknya aku juga mendapatkan informasi dari jalur resmi kereta api bahwa harga tiket tidak ada kenaikan saat mendekati lebaran. Ini cukup melegakan.
Kalian pasti bertanya mengapa aku tidak mencoba mencari tiket bus untuk pulang kampung. Sebenarnya ada beberapa alasan mengapa aku tidak suka naik bus. Yang pertama adalah karena diantara ketiga moda transportasi itu, buslah yang paling lama perjalanannya. Pesawat terbang bisa sampai ke Surabaya dalam waktu satu jam, kereta api maksimal sepuluh jam, sedangkan bus memerlukan waktu minimal delapan belas jam. Hal ini diperparah dengan alasan kedua. Kalau macet, bus bisa memerlukan waktu lebih lama lagi. Bisa sampai tiga puluh jam. Kalian bisa bayangkan itu?
Alasan ketiga adalah bus yang dimataku seperti kapsul pembunuh. Kalian pernah lihat bus antar profinsi yang bergerak cepat seperti anak panah yang dilepas dari busurnya? Bus juga salah satu alat transportasi yang sering mengalami kecelakaan. Kecelakaan bus biasanya disebabkan oleh kelalaian supirnya. Mulai dari supir mengantuk, tidak taat rambu-rambu lalu lintas, sampai mengebut karena berbagai alasan. Jadi aku katakan tidak untuk bus.
Alasan selanjutnya adalah karena banyak PO yang bermasalah. Masalah itu bisa dari unit kendaraan yang memang tidak layak untuk perjalanan jauh, pelayanan yang tidak memuaskan untuk perjalanan jauh, sampai adanya tiket yang dipalsukan. Jadi, sekali lagi tidak untuk bus.
Saat aku punya banyak alasan untuk menolak bus untuk perjalanan jarak jauh, dan tiket pesawat yang melambung tinggi, maka kereta api jadi pilihan satu satunya. Aku akan bersabar selama satu bulan untuk menunggu H-90 itu hadir.
O ya. Kalau kalian mau tahu, "bus" tetap dibaca "bus". Karena bahasa Indonesia itu menganut ejaan yang sama pengucapannya dengan penulisannya. Seperti "masjid" yang tetap dibaca "masjid", bukan "mesjid". Seperti juga "Indonesia" yang tetap dibaca sebagaimana tulisannya. Bukan "Endonesah" atau yang sejenisnya.
Bersambung....
Jumat, 25 Juli 2014
Pulang (1)
Januari adalah saat dimana resah itu semakin memuncak. Padahal di bulan sebelumnya, Desember, aku sudah pulang kampung. Karena itu, di Januari aku begitu yakin kalau resah itu bukan karena home sickness. Bukan! Tapi karena hal lain.
Aku tak pernah merasa kalah oleh resah, tapi yang ini selalu menguat setiap hari. Aku sudah merantau sejak 2004. Aku sudah lama bisa mengatasi rindu. Sudah terbiasa dengan deraannya yang mengikat hati. Aku sudah terbiasa mengenang rumah hanya dalam ingatan dan doa, mengingat ibu melalui rasa yang ditinggalkannya di kulitku yang mulai menua ini. Sembilan tahun aku kuat menjalani semuanya. Jadi kalau resah ini karena rindu pulang kampung itu, aku rasa bukan.
Hari-hari berikutnya deraannya semakin nyata. Ada apa dengan rasa resah ini?
Aku menelisik tentang kerja. Pekerjaannku di Jakarta. Apa yang salah?
Aku menemukan jawabannya di awal Februari. Aku adalah manusia yang punya hati dan punya prinsip. Aku melihat sesuatu yang bertolak belakang dengan hati dan prinsipku di sini. Aku melihat sesuatu yang tidak sejalan denganku disini. Aku juga sadar kalau aku sudah lama berjuang untuk mengubahnya dan aku kalah. Posisi yang aku punya tidak cukup kuat untuk mengusahakan sebuah perubahan. Aku hanya punya mulut yang bisa berbicara tentang apa yang aku ingin, tapi aku tak punya tangan yang cukup kuat untuk melakukan perubahan itu.
Akhir Februari aku merasa semua ini sudah cukup. Aku cukup berusaha dan aku sadar aku tak bisa. Usaha ini sudah sampai pada batasnya. Resah ini sudah sampai pada garis akhirnya, di mana sabar, dan teriakan semangat rasanya sudah terlalu usang untuk diserukan.
Awal maret, aku mengundurkan diri.
"Saya pamit pulang." Kataku di hari itu. "Dan insyaallah untuk tidak kembali lagi."
Banyak orang yang menyayangkan keputusanku itu. Bahkan orang yang aku pamiti itu juga tak bisa menyembunyikan rasa kecewanya. Tapi ini adalah keputusanku. Pantang bagiku untuk menjilat ludah sendiri. Keputusanku adalah pulang, dan aku mau pulang.
"Mulai kapan?"
"Ramadhan saya terakhir di sini."
"Itu masih tiga bulan lagi."
"Ya, saya tahu. Saya hanya memberi kesempatan pada perusahaan untuk mencari pengganti saya. Saya bersedia melatihnya selama tiga bulan sampai dia bisa."
"Baik, terimaksih atas itikad baik kamu. Tapi kamu kan belum ada batu loncatan?"
"Itu adalah resiko saya. Jangan khawatirkan saya. Insyaallah saya akan baik-baik saja."
Pembicaraan diakhiri dengan sederet wejangan. Wejangan tentang hidup dan segala sesuatu tentang masa depan. Wejangan yang masih dan akan selalu saya ingat. Terimakasih sudah meluangkan waktu dan energi itu itu.
Esok harinya, setelah matahari terbit untuk pertamakalinya setelah proses pamitan itu, ada kelegaan luar biasa di dadaku. Aku akan pulang, tiga bulan lagi...
Bersambung....
Minggu, 24 November 2013
Dia yang Sangat Merindukanmu
EMAK: Knp?
P: Udah berapa kali ibu minta ditelepon
P: Tapi aku gak telepom
P: Telepon
PICT : Telpom donk
EMAK: Kenapaa?
P: Kalau denger suaranya
PICT : Aq aja sering Nelpom
P: Kadang aku sering nyesek
P: Pengen pulang
PICT : ({})
PICT : Ooo
EMAK: Telpon lah mas. Membahagiakaan org tua dgn cara yg beliau inginkan.
EMAK: Bkn dgn yg kita pikirkan
EMAK: Akan lbh tepat dan mengena dihatinya
PICT : Oyi
P: :|
P: Aku egois ya bund
PICT : Ayoo telpon
EMAK: Kayaknya dl kita pernah ngobrol juga ya, bahwa org tua tidak mengharapkan materi sbg wujud perhatian anak.
EMAK: Was2 berjauhan
EMAK: Ingin yaakinkan diri bhw anaknya baik2 saja
EMAK: Butuh perhatian walau sekedar disapa apa kabar
P: Hhhhhh...
EMAK: Jarak, sll membutuhkan komunikasi intens
EMAK: Spt kalau kita berjauhan dgn kekasih, pasti ingin sll keep in touch
EMAK: Sama aja dgn ortu
EMAK: Jgn smp salah paham
EMAK: Tdk tlp nanti malah dikira tdk rindu/ tdk perduli
EMAK: Sbg bunda, aku suka kalau anakku bilang, kangen bunda
EMAK: Dulu, mas Yok juga suka gitu
EMAK: Ibuku protes
EMAK: Mas yok jawab, kalau masyok ga telp berarti mas yok baik2 aja
EMAK: Trus ibu blg, apa ibu nggak boleh dengar berita kamu baik2 aja? Apa hrs saat kamu punya mslh br ibu tau?
PICT : Ooo
EMAK: Hihihi
EMAK: Bawel ya mak ini
PICT : Ah ga
EMAK: Asik
PICT : Udah kakak telpon gih
PICT : Kalau nangis terus bobok yaa
PICT : Jangan lupa cuci kaki
P: Pernah ibu minta aku telepon
EMAK: Kalau nangis dengerin fatin dulu biar puas dl nangisnya :@
EMAK: :p
P: Di sms adik bilang penting
P: Waktu aku telepon dan tanya ada apa
P: Ibu cuma bilang
P: "Cuma ingin denger suaranya"
P: "Gimana kabarnya di sana?"
PICT : Itu artinya jarang banget telepon
P: Waktu aku bilang aku baik baik saja
PICT : Aq hampir tiap minggu
PICT : Ato semau ku
P: Ibu bilang, sudah tutup teleponnya kalau sibuk, ibu cuma pengen denger suaranya
P: Gimana gak mau tersentuh coba...
P: Bersukur tole bisa ada kesempatan telepon
P: Aku bukan gak punya kesempatan telepon
P: Cuma ya itu tadi
P: Kalau sudah telepon pengennya pulang
EMAK: Apalagi jd bikin takut tlp ibu
EMAK: Tlp aja, kalau jd sedih ya hibur hati
EMAK: Kapan lagi nyenengin org tua
EMAK: Baru menahan rindu aja udah terasa berat, bayangkan dgn apa yg dirasakan ibu.
EMAK: Come ooon...
P: Ya mak
P: Makasih ya mak....
EMAK: Kalau yg begini hrs dikerasin nih
PICT : Udah berubah mak ga bund
EMAK: Tak jewer aja kalo ga nelpon
PICT : Udah oke
P: :)
EMAK: Opo sih berubah mak ga bund?
PICT : Hahaha
P: Hanya wanita yang bisa memahami wanita, hanya dengan hati seorang ibu kita tahu apa yang ssorang ibu mau...
P: Sekali lai makasih mak
Sumber gambar dari sini |
Senin, 04 November 2013
Inilah Suka Duka Kami, Para Pekerja Jasa Lewat Tengah Malam
Walkers. Sebenarnya hidup itu indah. Tergantung bagaimana kita memaknainya saja.
Senin, 28 Oktober 2013
Menanti Sebuah Kisah
Kisah yang akan mengukir sejarah dalam hidup ini
Jangan patahkan sayap sayap cintamu
Biarlah dia mengembang
Mengepak diudara yang segersang sahara
Mengalir dimana bahkan air tak mampu merayap
Mesat ngapung luhur jauh di awang2
Biarkan dia menerpa wajahmu
Wahai kisanak sudikan kau menjadi saksi akan kisahku?
Saksi?
Akan kusaksikan kisahmu
Seperti aku bersumpah pada bintang
Bahwa aku melihat keling matanya diantara mereka
Berkelip indah dihati yang gersang menanti kisah
Kisah oh kisah...
Akankah dia datang merayap dalam mimpiku yang gelisah malam ini....
Kan ku genggam bintang itu kan ku berikan pada kisah yang terpatri dalam hati ini
Menyinari gelapnya akan penantian kisah ini
Hingga malam hilang
Dan sinar mentari pagi
Menjadikan wujudmu nyata
Terbaring lembut dijiwaku
Jiwa jiwa yang kesepian akan kasih sayang
Berlari ke utara dan juga selatan
Wahai kisah kapankah kau datang