Sabtu, 18 Mei 2013

Maaf, Aku Belum Bisa Berkomitmen

Ternyata berkomitmen itu bukan suatu hal yang mudah. Buktinya sekrang aku tidak bisa memegang dengan teguh apa yang pernah aku ucapkan dan ingin aku kerjakan. Masih baru saja bulan lalu aku membuat postingan yang berjudul “Setelah Sekian Bulan Lamanya” di La-Ramta, tapi sekarang rasanya aku tidak bisa memenuhi apa yang ingin aku capai. Apa lagi, kalau ingat apa yang pernah aku sampaikan pada posting yang berjudul “La-RanTa is back”. Apa yang terjadi sekarang rasanya jauh dari yang aku tulis di sana. 

Dulu aku berkomitmen untuk menulis setiap hari, setiap ada kesempatan, tapi nyatanya sekarang, jangankan menulis sesuatu yang lebih serius, blog ini dan blog Fiksiku saja sudah lama terlantar. Ada komitmen pada diri sendiri dulu untuk meluangkan waktu setidaknya dua jam perhari untuk menulis. Sekarang itu semua tinggal janji yang terucapkan. Ada beberapa janji lain yang belum juga bisa aku tuntaskan. Aku minta maaf untuk hal ini pada kalian yang pernah aku janjikan suatu hal. 

Aku ingin memberikan alasan yang mungkin bisa aku sampaikan, tapi aku yakin, yang kalian butuhkan, bukan sekedar alasan, bukan? Janji dan komitmen yang pernah aku ucapkan butuh realisasi yang nyata, bukan sekedar alasan. Aku tahu. 

Kejadian yang terjadi di dunia nyata membutuhkan begitu banyak perhatian ekstra akhir akhir ini. Tentang pekerjaan, keluarga (walau masih singgle), orang orang di sekelilingku, semua meminta hal yang lebih dari yang biasa aku kerjakan. Banyak urusan urusan ‘baru’ yang muncul silih berganti. Satu hal selesai, satu datang tak jauh setelahnya. Aku bahkan tak punya waktu untuk mengurusi gigiku sendiri yang sudah waktunya untuk bertemu dengan dokter spesialisnya. Aku tak ingin mengeluh, hanya ingin menjalanis semua apa adanya hingga akhir. Untuk kalian yang sedang menunggu komitmen dariku, apapun bentuknya itu, aku mohon maaf sekali lagi, dan lagi, atas kelemahanku sebagai seorang manusia biasa. Semoga kalian bisa mengerti… 

sumber gambar dari sini
READ MORE - Maaf, Aku Belum Bisa Berkomitmen

Minggu, 12 Mei 2013

Racun dan Kesepian Gie, Soeharto dan Spiderman



Adalah satu sifat dasar manusia untuk berhasrat bisa duduk dalam kasta tertinggi dalam peradaban. Adalah salah satu sifat dasar manusia untuk dikenal, dihormati dan disanjung orang lain. Sementara yang lain, berdiri sebagai antagonis yang merentangkan kakinya di depan jalan sang penguasa. Apa  guna semua kalau akhirnya apa yang mereka rasakan adalah sama? Tapi dunia adalah panggung sandiwara kehidupan, maka ketika semua peranan menjadi sama, drama apa yang akan berjalan? Tak ada. Dunia hanya akan kelabu tanpa nada.

Antagonis dunia, bukan selalu mereka yang jahat bagai dongen Putri Salju. Tidak selalu bersifat seperti Green Goblin di film Spiderman. Dia, bisa saja sosok seperti Gie dalam sejarah bangsa ini. Atau mereka yang kemudian hilang pada peristiwa Mei 1998. Antagonis, atau protagonis dunia ini tak selalu hitam putih. Mereka bisa saja kelabu. Hitam dan putih itu tergantung siapa yang memandang, dari sudut sejarah mana mereka di ceritakan. Htiler mungkin adalah seorang yang paling di benci sejarah, kalau yang menceritakan adalah orang tak sejalan dengannya. Tapi bagaimana bila Eva Braun yang bekisah? Bisa jadi dia akan jadi pria yang paling tepat untuk di kagumi.

Dalam satu artikel lama yang pernah aku baca, Soeharto pernah bilang dia kesepian dalam puncak kekuasaannya. Seperti Gie yang kemudian harus menjauhi semua orang yang pernah ada di dekatnya karena dia dianggap berbahaya, tak punya masa depan, dan seperti tanaman beracun yang menularkan racunnya pada semua tanaman di sekitarnya. Spiderman harus memutuskan untuk berdusta kepada MJ. Dia mengingkari cintanya dan meminta MJ menjauhinya. Mengapa? Karena dia sadar kalau saat itu, dia sendiri adalah tanaman beracun itu, dan dia tak ingin menularkan racunnya yang mematikan itu pada kekasihnya.

Bila akhirnya semua orang yang bisa mencapai puncak ketenaran dan kejayaannya, baik sebagai protagonis ataupun antagonis bernasib sama : kesepian, maka mengapa banyak orang yang berlomba mencapai fase itu? Aku yakin mereka punya jawabannya masing-masing, dan kita boleh menerkanya dengan bebas. Mereka kemudian sama sama menjadi beracun, mereacuni dan berbahaya dengan caranya sendiri. Kehidupan yang mungkin tak pernah akan kita bayangkan, tapi begitulah konsekuensi. Kalau kita tak siap dengan konsekuensi apapun, maka jadilah orang biasa yang berbuat hanya untuk hidupnya sendiri, dan kita benar-benar tidak akan pernah jadi apa-apa.

“Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan”
Soe Hok Gie
READ MORE - Racun dan Kesepian Gie, Soeharto dan Spiderman

Senin, 06 Mei 2013

Yang Indah di Tepian Barat Suramadu



Pemandangan di depan rumah kontrakan.

Kebenarannya adalah, di tempat yang awal itu aku tidak kos. Lho?

Ya. Aku tidak kos di sana. Aku menempati rumah kontrakan. Beda bukan, antara kos dan kontrak? Kalau kos itu sewa satu kamar untuk tempat tinggal yang pembayannya di hitung perbulan. Beda dengan kontrak yang pembayarannya di hitung pertahun. Kalau kos, biasanya hanya sepetak kamar saja, tapi kontrak bisa sampai satu rumah. Begitu bukan?

Yang bayar kontrak bukan aku. Seseorang. Seseorang itulah yang kemudian mempercayakan apa yang dia kontrak untuk aku tempati dan kelola. Rumah kontrakan yang aku tempati itu punya dua lantai (baca posting sebelumnya, klik di sini). Aku menempati lantai duanya.

Pemiik asli rumah yang kontrakan yang aku tempati itu tinggal bersebelahan dengan rumah yang aku kontrak. Jadilah aku dan pemiliknya sebagai tetangga. Sebut saja namanya bu Suti. Bu Suti ini berprofesi sebagai guru konseling di sebuah sekolah menengah di Surabaya. Bu Suti punya empat anak, tiga diantarnya punya wajah dan nama yang nyaris sama. Entahlan, mengapa anak terakhirnya punya postur dan nama yang jauh berbeda dengan kakak-kakanya, padahal mereka berempat sama-sama cowok.

Bu Suti punya suami. Sebut saja namanya pak Tok. Orang yang ramah dan suka bernyanyi. Setiap malam, aku berkunjung kesana. Biasanya selepas isyak. Ngobrol bareng pak Tok, pak dhe, dan om. Pak dhe adalah saudara bu Suti, om juga sarudara mereka, tapi dari kerabat jauh. Kadang pula, ada pak dhe lain yang datang ikutan nimbrung besama kami. Malam demi malam, aku dan mereka semakin akrab. Ada saja yang di perbincangkan. Mulai dari maasalah kuliner sampai berdebat masalah nama jalan. Kalau ingat itu, kadang aku merasa aneh sendiri. Membayangkan beberapa pria dewasa, nimbrung malam-malam, yang di bahas hanya masalah nama jalan di kota ini. Hahaha…, maklumlah, profesi kami hampir sama. Pak Tok adalah supir perusahaan, pak dhe supir pribadi, sedangkan aku seles. Klop bukan?

Satu lagi tokoh penting yang setidaknya harus aku ceritakan adalah pak Mujar. Dia adalah orang yang dulu mempertemukan antara pengontrak rumah dan bu Suti ini. Awalnya, hubungan aku dan pak Mujar ini berjalan baik. Seperti layaknya tetangga, aku juga masih sering ngobrol dengan dia. Orang lain lagi yang mungkin harus aku sebut adalah pak Jaf. Pak jaf ini adalah orang yang punya rumah tepat di jalan masuk ke tempat kontrakanku. Katanya, dia adalah ketua preman di tempat ini. Pak Jaf adalah salah atu orang terlama yang mendiami pemukiman ini, bahkan keluarganya sudah di sana, jauh sebelum akses suramadu di bangun.

***

Kehidupanku di tepian barat surmadu berjalan indah. Sangat indah malah. Aku punya kehidupan yang selama ini aku inginkan. Rumah yang sudah seperti rumah sendiri, pergulan yang baik dengan tetangga sekitar, tempat yang mendukung untuk menulis. Semuanya!

Aku merasa aku punya segala impian kecil tentang tempat yang layak huni yang selama ini ada dalam pikiranku. Apa lagi, lima kamar dilantai satu dikoskan. Banyak orang yang tiggal di lantai satu itu. Kalua aku suntuk di lantai dua, aku bisa turun untuk sekedar mengobrol dengan mereka. Aku juga punya satu dapur kecil tepat di bawah tangga. Kebutuhan kebutuhan kecil seperti masak nasi, bikin mie instran, buat the atau kopi, bisa aku sediakan sendiri tanpa harus keluar ke warung.

Bulan demi bulan berlalu. Tak ada tanda tanda awal kalau aku harus pergi dari sana dalam waktu yang begitu mendadak dan dengan cara yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Bahkan menerkapun aku tidak.

Sudah siang, walker. Aku harus keluar dulu untuk mengisi perut yang sudah bernyanyi sejak pagi. Sambung ke posting berikutnya ya. Semoga sabar menanti….

Salah satu pemandangan di tepian timur Suramadu

Tepat di tepi barat Suramadu

Pemandangan saat hujan dari jendela lantai 2 rumah nontrakan

Jalan Kedung Cowek saat senja dilihat dari lantai 2 rumah kontrakan

Saat senja yang kelabu di depan rumah kontrakan


Salah satu view di depan rumah kontrakan



READ MORE - Yang Indah di Tepian Barat Suramadu