Jumat, 28 Desember 2012

Postcard Fiction : Dear Laura

Dear Laura.
Mungkin ini adalah sepucuk surat edisi spesial untuk persahabatan kita. Kamu tahu
mengapa? Karena untuk pertama kalinya aku mengirimi kamu surat dalam bahasa
Indonesia di selembar kartu pos. Laura, aku tahu selama ini kamu sudah begitu giat
belajar bahasa Indonesia agar bahasa Indonesiamu selancar bahasa Inggrisku. Kamu
ingin untuk bisa menawar langsung harga gelang-gelang kayu itu bukan? Aku yakin
kamu bisa saat kamu berkunjung ke sini nanti.

Laura,
Tak banyak yang bisa aku ceritakan di selembar kartu pos. Hanya mungkin, aku sedang
ingin bercerita kepadamu tentang hadiah sederhana yang baru saja aku berikan kepada
adikku. Walau sederhana, tapi aku tahu dia suka sekali menerimanya.

Hadiah dariku itu berupa sebuah handphone SmartFren tipe lama, sebuah handphone online
pertama yang dikeluarkan oleh SmartFren. Memang sebuah handphone lama dengan fitur
yang sederhana juga, Laura. Tapi adikku luar biasa bahagianya. Dia sekarang bisa online
dengan fasilitas handphone lamaku itu. Sangat membantu baginya mencari bahan bahan
pelajaran secara online, Laura. Apalagi sinyal SmartFren mencakup daerah yabg luas.
Dimanapun adikku berada, dia bisa langsung online tanpa hambatan sinyal. Sekarang
kami bisa bertukar foto, sampai chating di Facebook dengan lebih lancar.

Laura,
Aku masih berharap bisa memberinya SmartFren Andromax agar dia bisa lebih terbantu
lagi untuk terus belajar. Itu akan jadi hadiah terindah buat dia, Laura, seindah pertemuan
kita nantinya.

Sampai jumpa di kopdar perdana kita Laura, di puncak Ijen, seperti gambar pada postcard
ini.





sumber gambar  dari sini
READ MORE - Postcard Fiction : Dear Laura

Selasa, 25 Desember 2012

Kalau Aku Memang Ndeso, Masalah Buat Lho?

Perpindahan tempat kerja, berarti juga perubahan banyak hal. Seperti juga perpindahanku dari studio lama di Situbondo ke studio baru di Surabaya. Di tempat lama aku bertugas sebagai operator cetak mesin pencetak foto, merangkap bagian design dan fotografer pengganti. Kadang juga jadi pramuniaga kalau dibutuhkan. Hampir semua pekerjaan sepertinya yang bisa aku kerjakan di sana. Cuma jadi kasir saja mungkin yang tidak pernah aku pelajari.

Pindah ke tempat baru, berarti suasana baru juga. Di tempat yang baru aku bekerja sebagai fotografer. Kadang, aku bertugas untuk meliput acara seminar dan pertemuan-pertemuan lain. Kebanyakan acara yang aku liput itu diselenggarakan di hotel-hotel berbintang. Hotel sekelas Sheraton, Shangri-La, Hyat, sudah biasa aku datangi.

Keren bukan? Seorang udik dari daerah yang jauh dari ibu kota profensi ini bisa keluar masuk hotel berbintang seperti itu. Saat pertama aku dilibatkan untuk job semacam ini, aku begitu bangga. Membayangkan betapa ekslusifnya masuk ke hotel terkenal dan disambut dengan hormat oleh petugas-petugasnya. Apa lagi makanannya. Aku membayangkan hidangan hidangan kelas internasional yang di buat oleh chef handal. Hmmmm, betapa lezat aku bayangkan.

Benar saja. Saat acara cooffe break berlangsung, hidangan kue aneka macam langsung menggoda seleraku untuk mencicipinya. Lezat sekali rasanya. Dipadu dengan kopi kental yang manis, pahit dan gurihnya bercampur sempurna. Terus terang, kali pertama kue-kue cantik itu masuk ke mulutku, rasanya aku ingin menyimpan sebagian untuk aku bawa pulang. Wagagagagagagagag .... Tapi tentu saja aku urungkan. Aku memang orang udik, tapi setidaknya aku tidak ingin mempermalukan diri sendiri.

Suasana berbeda terjadi saat makan siang berlangsung. Sebelum antri untuk mengambil makan siang, aku sempatkan untuk memotret suasana makan siang itu. Aneka masakan yang belum pernah aku lihat tersaji di sana. Mulai dari yang beraneka warna dalam satu wadah sampai yang berwarna gelap kecoklatan. Wew! Aku tak sabar.

Aku ambil bagian dalam antrian. Kutambahkan sedikit sekali nasi dalam piringku yang terlihat begitu besar dari yang biasa aku pakai di rummah. Tujuannya, agar aku bisa meletakkan lebih banyak porsi dari setiap macam lauk yang disediakan oleh panitia. Maka jadilah piring yang aku bawa seperti gundukan lauk dan sayur saja. Dari sayuran beraneka warna sampai bagian besar potongan daging ayam dan sapi. Aku terlihat ndeso? Biarlah, yang penting aku puas .... [Nyengir]

Saat aku mulai menyuapkan beberapa potongan kecil dari aneka hidangan yang ada di piringku, satu kenaehan terjadi. Mulanya aku berfikir pasti ada yang tidak beres dengan lidahku. Masakan-masakan itu tidak seenak yang aku bayangkan. Apakah ini salah lidahku? Karena aku tahu, tidak mungkin chef yang ada di dapur sana sudah salah dalam memasukkan takaran bumbunya. Aku mulai kehilangan selera makan saat makanan di piringku tersisa separuhnya. Makanan itu rasanya benar-benar aneh. Hampir semua jenis yang ada tidak mampu menggugah selera makanku untuk menyantapnya sampai tandas. Apa yang salah?
Kejadian ini berulang lagi saat acara berlangsung di hotel yang lain. Aku kurang bisa merasakan dimana letak kelezatan makanan-makanan yang terhidang itu. Mungkin hanya karena rasa lapar yang benar-benar minta dipuaskanlah yang mendorongku untuk berusaha menikmmati hidangan yang ada. Selebihnya, yang ada hanya rasa hambar dan aneh.

Saat itu yang ada dalam benakku adalah betapa inginnya aku menyantap makanan-makanan yang biasa dihidangkan ibu di rummah. Tiba-tiba ada kerinduan yang mendalam akan campuran rempah sederhana dari bahan-bahan sederhana yang ibu racik. Sambal yang pedas, pepes yang harum asap, oseng kangkung yang segar, sop dengan lembaran daun kol, terong yang dimasak utuh, tiba-tiba mengisi dengan jelas ruang rinduku. Bahkan dengan membayangkan saja, selera makanku terbit.

Semua masalah di hotel itu ternyata bukan tentang kesalahan pada lidahku. Bolehlah makanan yang di sajikan disana sudah berkelas internasional, dibuat dengan chef handal dan harga selangit. Ternyata bukan itu yang aku maui untuk memanjakan lidahku. Aku sudah terbiasa dengan racikan bumbu yang ibuku biasa racik sejak aku kecil. Racikan yang sudah biasa aku kecap dan menjadikan karakter yang lezat di lidahku. Menjadikannya sebuah definisi 'lezat' menurut versiku sendiri.

Aku sekarang memang hidup di Surabaya, salah satu kota terbesar negeri ini. Tapi aku sama sekali tidak pernah merasa bersalah dengan selera makan yang aku punya. Selera makan yang boleh di bilang ndeso. Biarlah. Aku memang begitu. Aku justru bangga menjadi unik dan berbeda. Bukannya aku tidak mau makan makanan mewah itu, tapi makanan yang Indonesia banget itulah yang aku suka. Berpindah tempat hidup bukan berarti kita harus kehilangan jati diri bukan? Begitu juga dengan selera makan. Tidak juga harus berubah, menjadi latah dan ikut-ikutan hanya agar kita dibilang keren dan tidak ketinggalan zaman.


Sent from my AXIS Worry Free BlackBerry® smartphone









READ MORE - Kalau Aku Memang Ndeso, Masalah Buat Lho?

Jumat, 21 Desember 2012

Shirat! Novel yang Menggelincirkan Hati

"Aku beristghfar atas apa yang baru saja kudengar. Mereka menyelenggarakan tahlillan untukku. Menyelenggarakan tahlil untuk orang yang masih hidup...."
***
Akhirnya, terkabul juga keinginanku untuk bisa membaca novel yang satu ini. "Shirat! Meniti Titian yang Mudah Menggelincirkan". Dari judulnya saja, mampu untuk menggoda rasa penasaranku untuk menyimak keseluruhan isinya. Aroma relijiusnya terasa sekali hanya dengan melihat judulnya saja, pun kalau di sampul novel itu tidak tertulis kalau ini adalah sebuah novel religi.

Dalam benakku waktu itu, kalau memang benar shirat yang dimaksud oleh sang penulis adalah jembatan Shiratal Mustaqim, betapa beraninya sang penulis menjadikan kata ini sebagai judul novelnya. Bagaimana tidak, setiap umat Islam pastinya tahu apa itu jembatan Shiratal Mustaqim. Jembatan yang hanya ada saat pengadilan maha dahsyat kelak ini, tidak ada seorangpun yang tahu pasti bagaimana bentuknya, keadaanya, sifat- sifatnya, tapi sang penulis begitu berani menggunakan namanya, atau setidaknya kata yang mirip dengan namanya untuk dijadikan judul novelnya. Apa lagi saat melihat desain sampulnya yang menggambarkan seorang lelaki berpakaian biasa yang sedang hendak menyebrang jembatan. Rasa penasaranku makin bertambah. Apa sih yang bisa diceritakan penulisnya dalam novel ini? Toh dia juga manusia biasa bukan? Yang masih hidup dan belum pernah tentunya, melihat jembatan itu?
Novel ini diawali dengan keadaan sulit yang dihadapi oleh tokoh utamanya, seorang pria paruh usia berbadan tambun. Diceritakan dalam novel ini, pria tersebut adalah kader sebuah partai, anggota dewan yang terhormat negeri ini. Tokoh utamanya ini digambarkan sebagaimana kebanyakan penggambaran tokoh seorang anggota partai yang juga anggota dewan di negeri ini. Tak jauh dari agenda rapat, pergi kesana ke sini dan berusaha asyik dengan kehidupannya sendiri. Apa lagi, apapun yang dia mau, Rahmat, asisten pribadinya yang setia, selalu ada untuk melayaninya. Masalah terjadi saat tiba-tiba pesawat terbang yang ditumpangi Muhammad El Faridz, sang anggota dewan itu mengalami kecelakaan hebat. Seluruh penumpang dinyatakan tidak selamat, kecuali satu orang penumpang yang dinyatakan masih hidup.
Dokter memperkirakan kalau jasad gosong yang selamat itu adalah Muhammad El Faridz sendiri. Tapi tidak ada satupun tanda pengenal yang bisa memastikan kalau jasad itu adalah jasad milik sang anggota dewan yang terhormat. Mereka memang masih berspekulasi tetang siapa sebenarnya orang tersebut, tapi pengobatan dan pemulihan terus dilakukan untuk keselamatannya. Dokter-dokter terbaik didatangkan untuk hasil yang terbaik. Di sisi lain, tanpa ada seorangpun yang tahu, perjalanan lain sedang dimulai. Perjalanan yang dilakukan oleh Muhammad El Faridz sendiri!
Begitu seru mengikuti alur cerita yang disajikan dalam novel ini. Penuh dengan drama, perenungan, cinta, persahabatan, persaudaraan, ketaatan dan kerja keras. Begitu memotifasi kita sebagai pembaca untuk terus berjuang melalui setiap cobaan yang ada dalam hidup ini. Penggambaran yang di sajikan oleh penulisnya tentang jungkir balik kehidupan terasa begitu logis dan nyata. Penulisnya berhasil memberi gambaran cerita dengan alur yang menawan untuk menggambarkan betapa mudahnya kehidupan itu berputar balik seperti berputar baliknya telapak tangan. Sekarang jaya, besok bisa jadi manusia yang dipandang sebelah mata. Kehilangan, sifat tamak, lupa daratan, dan banyak hal lain digambarkan dengan begitu manusiawi dalam novel ini. Yang aku suka juga adalah, sang tokoh utama digambarkan sebagai manusia biasa juga. Yang punya dua sisi : baik dan buruk. Aku suka penggambaran semacam ini. Karena memang, tak ada manusia yang sempurna di muka bumi ini. Siapapun dia. Dengan karakter tokoh utama ang seperti itu juga, rasanya novel ini menjadi begitu dekat dengan realita kehidupan, dengan pembacanya sendiri.
Seperti penggambaran sang tokoh utama yang tak sempurna, maka tak lengkap rasanya kalau tidak membahas juga apa yang aku rasa kurang dari novel ini. Tak ada satupun yang sempurna bukan? Salah satunya adalah aku merasa jenuh saat membaca bagian yang menceritakan jalan cinta Faridz dengan wanita-wanita pujaan hatinya. Terlalu bertele-tele menurutku. Terlalu ditonjolkan. Aku kira, kalau bagian ini dipersingkat, dan lebih menonjolkan lagi bagian-bagian yang menggambarkan perjuangan hidupnya, novel ini akan semakin singkron antara judul dan alur ceritanya. Selebihnya, sulit rasanya mencari kelemahan dari novel ini. Rasanya apa yang ingin disampaikan oleh penulisnya bisa di sampaikan sengan baik.
Novel setebal 406 halama ini adalah salah satu novel yang bisa aku rekomendasikan untuk pembaca yang suka fiksi-fiksi islami, juga bagi mereka yang mencari pencari bacaan-bacaan pembangun jiwa. Novel yang cetakan pertamanya dilakukan di bulan Februari 2011 ini harusnya bisa menjadi koleksi pribadi yang membanggakan (sayangnya saya mendapat bukunya dari peminjaman di sebuah TBM, jadi belum bisa mengoleksinya secara pribadi). Jadi penasaran novel seperti apa lagi yang akan di sajikan seorang Riyanto el-Harist berikutnya.

Sent from my AXIS Worry Free BlackBerry® smartphone






READ MORE - Shirat! Novel yang Menggelincirkan Hati